Inilah penyebab perselisihan atau perdebatan karena perbedaan pemahaman
Penyebab perselisihan atau perdebatan karena perbedaan pemahaman di
antara kaum muslim yang telah tampak di berbagai media seperti pada
forum diskusi, milis, status jejaring sosial, chatting adalah ketika
mereka membaca sebuah hadits yang tentunya ada sanad yang tersusun dari
Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Lalu mereka katakan bahwa mereka
telah meniti jalan generasi Salafush Sholeh. Mereka sebenarnya hanyalah
meniti akal pikiran mereka sendiri
Merekapun berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa
yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah
hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut
tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka
sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar
dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka
atasnamakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah,
inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Pada umumnya mereka sebagaimana ulama panutan mereka seperti ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab memahami agama secara otodiak (belanjar
sendiri) dengan muthola’ah, menalaah kitab dengan akal pikiran mereka
sendiri berdasarkan makna dzahir atau terjemahannya saja atau hanya dari
sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Pemahaman
model ini disebut pemahaman secara ilmiah menggunakan akal pikiran dan
memori yang disebut dengan logika.
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits perlu berkomunikasi dengan Allah
ta’ala sebagaimana Ulil Albab berdasarkan karunia hikmah dari Allah
ta’ala atau disebut juga pemahaman secara hikmah, mengambil pelajaran
dari apa yang tersirat atau makna bathin.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al
Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran
(dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Ulil Albab berasal dari kata lubb (hati) artinya orang-orang yang
menundukkan akal pikirannya kepada kalbu sebagaimana yang telah
diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/29/tundukkan-akal-pikiran/
Mereka tidak memperhatikan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Mereka tidak juga memperhatikan sifat lafadz-lafadz dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.
Bahkan ada di antara mereka berpendapat bahwa nahwu, sharaf, balaghah
bukanlah alat untuk memahami Al Qur’an dan Hadits namun alat untuk
membuat syair-syair dalam bahasa Arab. Mereka katakan bahwa Al Qur’an
sudah diturunkan “dalam bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).
Al-Qur’an memang diturunkan “dalam bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten atau ahlinya.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab , salah satu ulama panutan mereka,
memahami agama lebih bersandarkan secara otodidak (belajar sendiri)
dengan muthola’ah, menalaah kitab.
Ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid
al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih
al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri
Wahhabi, sebagai berikut: “Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi
al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya
telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan
berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang
aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan
Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya,
karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan
orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang
anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada
masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.”
Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.”
Salah satu kitab pegangan utama ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah kitab-kitab karya ulama Ibnu Taimiyyah. Beliau mengikuti upaya
pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan tentu tidak bertemu muka atau
bertalaqqi (mengaji) karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Sehingga pada hakikatnya beliau mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah
bersandarkan dengan muthola’ah, menelaah kitab Ibnu Taimiyyah dengan
akal pikirannya sendiri.
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang
yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru
bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi
kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
(dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh
baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita
harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan
masalah”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Tidak ada yang dapat menjamin upaya pemahaman yang telah dilakukan
oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pasti benar atau tidak akan
keliru.
Kesalahpahaman atau kekeliruan lebih besar kemungkinan terjadi karena
ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dikenal berkompetensi sebagai
Imam Mujtahid Mutlak dan tidak pula dikenal sanad ilmunya tersambung
kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa
harus berdasarkan ilmu, yakni 1). Sanad ilmu yang tersambung kepada
lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan 2). Ilmu untuk
memahami Al Qur’an dan Hadits
1). Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya
sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu)”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
2.) Ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits
Untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits maupun
memahami perkatan ulama Salaf yang Sholeh tidak cukup dengan makna
dzahir yakni dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi)
saja sebagaimana umumnya mereka yang bersandar pada muthola’ah, menelaah
kitab namun dibutuhkan kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing
mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab semula bermazhab atau berguru dengan para ulama bermazhab Hambali
namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya
pemahamannya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal
pikirannya sendiri sehingga pemahamannya bertentangan dengan pemahaman
Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus
Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah
fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur
al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang
telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu
sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam
Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama)
dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” telah membantah apa yang
dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah maupun apa yang dipahami oleh ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab. Kutipannya dapat di baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud
dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar
untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan“
Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah pendapatnya
tidak bertentangan dengan ulama-ulama yang sholeh sebelumnya dan tidak
pula bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab yang empat artinya sanad
ilmu ulama Ibnu Taimiyyah terputus hanya sampai pada akal pikirannya
sendiri.
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan ulama Ibnu Taimiyyah
wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Oleh karenanya berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil
pemahaman (ijtihad) seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman
(ijtihad) ulama tersebut sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama
lainnya.
Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh
ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sebagai ulama yang dapat menyesatkan kaum muslim sebagaimana yang
terurai dalam tulisan pada http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22475&catid=9
Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami
dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Para ulama yang sholeh dari kalangan Ahlul Bait telah sepakat bahwa
apa yang disampaikan oleh pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam
Mujtahid Mutlak) yakni Imam Mazhab yang empat telah sesuai dengan
pengajaran agama yang telah mereka dapatkan dari orang tua-orang tua
mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang
mendapatkan pengajaran agama dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Marilah menelusuri apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan
yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al
Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin
Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh
Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang
setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih
Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang
yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad bin
Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak
yang lembut, dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para
pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus
Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari
(bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta
tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang
mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah
Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi
kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta
kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor
dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan
Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang
mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi
mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah
Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah,
mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Wassalam
Sumber: http://mutiarazuhud.wordpress.com
Marquee text
- Home
- Artikel
- Salafi-Wahabi
- About Syiah
- Apakah syiah itu ?
- Apa Madhab Ahlul Bait?
- Apa Ahlussunnah Waljamaah?
- Kapan lahirnya Aqidah Aswaja ?
- perbedaan Aswaja dgn Syiah ?
- Apa dan siapa Al-Bayyinat
- Rijalul Bayyinat
- Sahabat Nabi SAW
- Khalifah Abu Bakar R.A
- Ahlul Bait
- Imam Ali K.W.
- Fatimah Az-Zahra R.A
- Alawiyyin
- Asyura
- Mut'ah
- Himbauan dari Al-Bayyinat
- Al Firgoh An Najiah
- Fatawa Imam/ Ulama
- Email Al-Bayyinat
- Link-link situs islami
- Akidah Menurut Ajaran Nabi
- Alawiyyin
- Aswaja
- Download
- Audio
- About Me
No comments:
Post a Comment