Sholat mazhab
Al Albani
Mereka
menyampaikan cobalah periksa kitab “Sifat sholat Nabi” karya ulama Al Albani,
adakah hadits-hadits dhaif, maudhu’ dan lain lain.
Boleh jadi
hadits-hadits yang menjadi landasan kitab “sifat sholat Nabi” adalah hadits
shohih namun siapa yang dapat menjamin bahwa pemahaman ulama Al Albani pasti
pula shohih atau pasti benar ?
Kemungkinan
kesalahpahaman ulama Al Albani akan semakin lebih besar karena beliau tidak
dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Imam Bukhari,
Imam Muslim ~Semoga Allah meridhai mereka, mengkaji, memilah dari banyak
hadits-hadits dan menyusun, mengumpulkan dalam kitab, khusus untuk
hadits-hadits shohih namun mereka tidak menyampaikan kitab sholat berdasarkan
hadits-hadits shohih yang mereka kumpulkan.
Marilah kita
kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menolak sunnahku maka bukan dari
golonganku” (Shahih Bukhari).
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “shalatlah sebagaimana kalian melihat
aku shalat” (HR Bukhari 595, 6705)
Siapakah yang
melihat sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Tentulah para
Salafush Sholeh.
Siapakah yang
melihat sholatnya Salafush Sholeh ?
Tentulah para
Imam Mazhab yang empat.
Apa yang
dilihat oleh Imam Mazhab yang empat tentang cara sholat atau cara ibadah lainnya
dari Salafush Sholeh atau manhaj Salafush Sholeh dan dengan kompetensi mereka
dalam berijtihad dan beristinbat dituliskan dalam kitab-kitab fiqih mereka agar
umat Islam dikemudian hari yang tidak bertemu atau tidak melihat cara sholat
atau cara ibadah lainnya dari Salafush Sholeh atau tidak mengetahui manhaj
Salafush Sholeh dapat melihat atau mengetahui melalui kitab fiqih yang mereka
tuliskan.
Imam Mazhab
yang empat masih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan aqidahnya.
Tidak tercampur dengan akal pikiran yang berunsurkan hawa nafsu atau
kepentingan. Zaman kehidupan yang relatif lebih dekat dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam , kecil kemungkinan tercampur ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Mereka
mengingatkan perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu
hadits shahih maka itulah madzhabku“
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
Jika kalian
menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah itu dan tinggalkan
perkataanku itu“
Lalu mereka
menambahkan bahwa “Kalau ada orang yang membawa hadist shahih dari
Rasulullah maka kita ambil hadist Nabi dan meninggalkan semua pendapat yang
menyelisihi“
Ulama Al Albani
bukanlah “orang yang membawa hadits” namun “orang yang membaca hadits”.
“Orang yag membawa hadits” adalah orang yang tersambung sanadnya sampai
kepada para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut.
Imam Malik ra
berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang
tidak engkau ketahui sanad ilmunya”
“Orang yang
membaca hadits” maka pastilah terjadi upaya pemahaman (ijtihad). Apapun
yang dia pahami maka itulah mazhab dia sendiri. Kita bebas memlihi untuk
mengikuti atau menolak pemahamannya. Apalagi yang melakukan upaya pemahaman
(ijtihad) bukanlah orang yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak ,
lebih baik pemahamannya ditinggalkan.
Pada hakikatnya
kitab beliau tidak layak diberi judul “Sifat Sholat Nabi” namun cara sholat
mazhab atau pemahaman ulama Al Albani, sehingga kaum muslim dapat bebas memilih
untuk mengikutinya atau meninggalkannya.
Jumhur ulama
dapat menerima perbedaan pada masalah furuiyah atau cabang namun perbedaan
tersebut terjadi di antara para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak atau Imam Mazhab.
Perbedaan
pemahaman atau pendapat yang disampaikan oleh ulama yang tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau orang awam dinamakan
kesalahpahaman. Tentu janganlah mengikuti sebuah kesalahpahaman karena
sama saja dengan beramal tanpa ilmu.
Perbedaan
pendapat atau pemahaman seorang ulama dengan pendapat atau pemahaman para ulama
yang sholeh sebelumnya atau berbeda dengan pendapat atau pemahaman
Imam Mazhab yang empat menandakan sanad ilmu ulama tersebut terputus hanya
sampai pada akal pikirannya sendiri.
Dari Ibnu Abbas
ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata
mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam
neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i
~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam
Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan
orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Ibnul Mubarak
berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad,
maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang
diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Bahkan Al-Imam
Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa
tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya
gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Di antara Imam
Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mata dikarenakan terbentuk
setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya
sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa
menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada.
Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya
berbeda.
Zanni juga
terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur’an
mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam
penafsiran.
Contoh dalam
soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun nisa”
dalam al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz “quru” (QS 2:228)
terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
Selain hadis
mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi
ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak
memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah
zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang
mengandung lafaz zanni al-dilalah.
Jadi, sudah
terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk
beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
* zanni
al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
* zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari’ah
tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1. (a)
kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung penafsiran.
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung penafsiran.
2. (a) membasuh
kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usikum terbuka utk ditafsirkan.
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usikum terbuka utk ditafsirkan.
3. (a) memulai
shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk “ushalli” untuk menguatkan hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk “ushalli” untuk menguatkan hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
Sementara ada
segelintir umat Islam menggabungkan pendapat Imam Mazhab yang empat atau
talfiq.
Dalam bahasa
Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ) berasal dari kata (لَفَّقَ –
يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً) yang
berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain artinya mereka mengikuti seluruh
pendapat Imam Mazhab yang empat.
Bagi kami
talfiq dalam arti pendapat yang satu lebih kuat (tarjih) dari pendapat yang
lain atau bahkan yang berlebihan adalah pendapat yang satu yang benar dan yang
lain salah, adalah mereka yang tidak beradab karena mereka “menghakimi” para
Imam Mazhab yang empat sedangkan mereka tidak berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak dan tidak juga memiliki sumber atau bahan yang dimiliki oleh
Imam Mazhab yang empat dalam berijtihad dan beristinbat.
Sedangkan
talfiq dalam arti digunakan dikarenakan situasi dan kondisi tidaklah mengapa.
Seperti ikutilah apapun mazhab imam sholat karena diriwayatkan oleh Umamah al
Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan
Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh
lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah
pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Imam Ahmad bin
Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak
“menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara
independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya
dengan ilmu yang dikuasainya.
Sekali lagi
kami mengingatkan bahwa perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah
“shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR Bukhari 595, 6705)
Selain kita
dapat “melihat” cara sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui
kitab fiqih Imam Mazhab yang empat, kitapun dapat melihat melalui para
ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam karena mereka melihat sholatnya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melalui apa yang diamalkan oleh orang tua-orang tua
mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mengikuti
cara sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
No comments:
Post a Comment