Marquee text

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS: At-Taubah 128)

10 August 2012

Terapi Hati: Memperbaiki Aib Diri Sendiri

.…fenomena tayangan infotainment yang menceritakan kekisruhan rumah tangga orang lain, membeberkan perselingkuhan serta perzinahan yang terjadi dengan begitu terang benderang.

Ada seorang perempuan datang kepada Syaikh Hatim Al Asham untuk bertanya tentang sebuah persoalan. Saat bertanya, tiba-tiba keluarlah suara buang angin dari perempuan itu dan ia merasa sangat malu.
“Keraskan suaramu!,” teriak Hatim dengan keras untuk mengesankan seolah ia tuli.
Si perempuan merasa senang dan mengira kalau Hatim tidak mendengar suara buang anginnya. Karena kejadian itulah, kemudian Syaikh Hatim mendapat julukan Al Asham (si tuli).

Kita mendapat pelajaran yang sangat berharga darga dari Syekh Hatim Al Asham. Hal menarik dari kisah di atas adalah usaha dari seorang besar yang menutup rapat-rapat keburukan orang lain, tidak mengumbarnya sebagaimana terjadi saat ini, dimana kita melihat fenomena tayangan infotainment yang menceritakan kekisruhan rumah tangga orang lain, membeberkan perselingkuhan serta perzinahan yang terjadi dengan begitu terang benderang.

Akibatnya, ajang berkumpul sesama teman atau keluarga rasanya kurang ‘afdhal’ bila tidak dibumbuhi dengan ngerasani (menggunjing) atau menggosip.

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya Al Da’wah Al Tammah, mengutip ucapan Sayyidina Al Hasan Al Bashri, terkait meneliti aib diri sendiri. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Engkau tidak akan memperoleh hakikat iman selama engkau mencela seseorang dengan sebuah aib yang ada pada dirimu sendiri. Perbaikilah aibmu, baru kemudian engkau memperbaiki aib orang lain. Setiap engkau memperbaiki satu aibmu, maka akan tampak aib lain yang harus kau perbaiki. Akhirnya kau sibuk memperbaiki dirimu sendiri. Dan sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah dia yang sibuk memperbaiki diri sendiri. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak ada hari seperti hari kiamat, hari dimana aib terbuka dan mata menangis.”

Seorang ulama pernah berkata: “Aku tidak menemukan sesuatu yang paling ampuh merontokkan amal, merusak hati, menyeret kepada kebinasaan seorang hamba dan mendekatkan kepada kebencian serta memudahkan masuknya rasa suka kepada sifat pamer (riya’), ujub dan kedudukan selain terwujud pada minimnya pengetahuan seorang hamba akan aib-aib dirinya sendiri sembari melihat keburukan yang ada pada diri orang lain.”

Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin,mengetengahkan kiat jitu menyingkap kekurangan yang melekat pada diri kita. Beliau menyarankan untuk menempuh empat cara:

Pertama, duduk di hadapan seorang guru yang mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai masalah yang tersembunyi di dalamnya. Kemudian ia memasrahkan dirinya kepada sang guru dan mengikuti petunjuknya dalam ber-mujahadah membersihkan aib itu. Ini adalah keadaan seorang murid dengan Syaikhnya dan seorang pelajar dengan gurunya. Sang guru akan menunjukkan aib-aibnya serta cara pengobatannya. Namun, di zaman sekarang guru semacam ini langka.

Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam) dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.

Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.

Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri juga memilki sifat tercela itu. Kemudian ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan melihat aib-aibnya sendiri. 

(http://www.rabithah-alawiyah.org)

No comments:

Post a Comment