Marquee text

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS: At-Taubah 128)

31 May 2012

Keutamaan dzikir "Laailaha illallah almalikul haqqul mubiin"

لآ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ
 (dibaca Ba’da Dhuhur 100x)


1. Dari Sayyidina Ali RA ia berkata, saya mendengar Rosulullah SAW bersabda, saya mendengar Jibril mengatakan, “Barang siapa yang mengatakan dari umatmu 100 x kalimat  لآ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ  
   maka dia :
  1. Aman dari kefakiran
  2. Ketenangan dari kebingungan alam kubur
  3. Menarik kekayaan
  4. Mengetuk pintu surga
  5. Dibuka 8 pintu surga
  6. Diselamatkan dari siksa kubur
  7. Akan datang dunia dengan segala kemudahannya
  8. Alloh menciptakan setiap kalimat menjadi satu malaikat yang bertasbih pada Alloh

2. Nabi SAW bersabda : “Perbaharuilah iman kalian “ , Bertanya para sahabat : “Bagaimana cara memperbaharuinya?” Nabi bersabda : “Perbanyaklah ucapan    Laa ilaaha illalloh”

3. Dari Sayyidina Ali RA, dari Nabi SAW, Sayyidina Jibril memberitahu saya seraya berkata : Alloh berfirman : “Laa ilaaha illalloh bentengku, siapa yang masuk padanya aman dari siksaku”

4. Tidak ada hamba  yang membaca Laa ilaaha ilalloh (100x) kecuali Alloh akan membangkitkan pada hari Kiamat wajahnya seperti bulan purnama.
 

Habib Abdurrahman Basurrah: "Tak ‘kan Menyamai Ketinggian Nabi SAW"



 Di akhir zaman tidak ada amalan yang pasti diterima oleh Allah SWT selain bershalawat kepada Rasulullah SAW
Seminggu sepeninggal Rasulullah SAW, seorang Badwi datang ke Madinah. Ia bermaksud menjumpai Nabi.
Sesampainya di Madinah, ia menanyai sahabat yang dijumpainya. Tapi dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat seminggu sebelumnya dan makamnya ada di samping masjid, di kamar Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Badwi itu pun sangat bersedih, air matanya bercucuran, karena tak sempat berjumpa dengan Nabi SAW.
Segera ia menuju makam Rasulullah SAW. Di hadapan makam Nabi, ia duduk bersimpuh, mengadukan dan mengutarakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Dengan linangan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau rasul pilihan, makhluk paling mulia di sisi Allah. Aku datang untuk berjumpa denganmu untuk mengadukan segala penyesalanku dan gundah gulana hatiku atas segala kesalahan dan dosa-dosaku, namun engkau telah pergi meninggalkan kami. Akan tetapi Allah telah berfirman melalui lisanmu yang suci, ‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – QS An-Nisa (4): 64.

Kini aku datang kepadamu untuk mengadukan halku kepadamu, penyesalanku atas segala kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat di masa laluku, agar engkau mohonkan ampunan kepada Allah bagiku….”
Setelah mengadukan segala keluh kesah yang ada di hatinya, Badwi itu pun meninggalkan makam Rasulullah SAW.

Kala itu di Masjid Nabawi ada seorang sahabat Nabi SAW tengah tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah. Beliau berkata, “Wahai Fulan, bangunlah dan kejarlah orang yang tadi datang kepadaku. Berikan khabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mendengar permohonannya dan Allah telah mengampuninya atas segala kesalahan dan dosanya….”

Sahabat tadi terbangun seketika itu juga. Tanpa berpikir panjang ia pun segera mengejar orang yang dikatakan Rasulullah SAW dalam mimpinya.
Tak berapa lama, orang yang dimaksud pun terlihat olehnya. Sahabat itu memanggilnya dan menceritakan apa yang dipesankan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Perintah Allah SWT


Penggalan kisah itu diceritakan oleh Habib Abdurrahman Basurrah dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di majelis bulanan alKisah (18/10). Habib Abdurrahman mengingatkan pentingnya mengagungkan Rasulullah SAW. Mengagungkan Rasulullah merupakan kewajiban yang diperintahkan syari’at. Tapi bukanlah menuhankan beliau. Mengagungkan dan menyanjung Nabi SAW berarti menaati perintah Allah SWT.

Dalam Al-Quran, Allah SWT selalu memanggil para nabi dengan menyebut namanya. Seperti firman Allah SWT kepada Nabi Adam AS, “Allah berfirman, ‘Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini…’.” – QS Al-Baqarah (2): 33. Namun, Allah mengecualikan Rasul-Nya, Muhammad SAW, dengan panggilan yang khusus dan agung. Allah tidak memanggil namanya, melainkan selalu memanggilnya dengan sifat-sifat atau predikatnya. Seperti firman Allah SWT, “Wahai orang yang berselimut.” – QS Al-Muddatsir (74): 1. Ini menunjukkan, Allah mengistimewakan Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, menurut Habib Baurrah, Imam Abul Hasan Ali Asy-Syadzilli pernah berkata, “Di akhir zaman tidak ada amalan yang lebih baik daripada bershalawat kepada Rasulullah SAW.” Ungkapan ini disandarkan pada firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” – QS Al-Ahzab (33): 56. Juga hadits shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Adapun maksud ucapan Imam Abul Hasan Asy-Syadzilli tersebut adalah bahwa tidak ada amalan yang pasti diterima kecuali shalawat kepada Rasulullah SAW. Karena semua amalan disyaratkan padanya niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Amalan yang dilakukan dengan riya’ dan sum`ah, ingin dipuji dan didengar orang lain, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Namun shalawat kepada Nabi SAW, para ulama bersepakat, bagaimanapun shalawat itu diucapkan, pasti diterima oleh Allah SWT, bahkan sekalipun orang yang mengucapkannya itu melakukannya dengan riya’, misalnya.

Itulah sebabnya para ulama mengatakan, sanjungan kepada Rasulullah SAW, bagaimanapun bentuk dan tingginya, tidak akan pernah menyamai ketinggian dan keagungan derajat beliau, karena keagungan yang beliau miliki datangnya dari Allah SWT, Yang Mahaqadim. Maka tidak mungkin dan tidak akan pernah pujian dan sanjungan makhluk menyamai pujian dan sanjungan-Nya, yang kekal dan abadi. “Bila demikian, tidak ada kata berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan Rasulullah SAW,” tutur Habib Basurrah menutup taushiyahnya.

Bagai di Kaki Gunung

Peringatan Maulid Nabi SAW majelis bulanan Zawiyah alKisah kali ini, selain dihadiri  karyawan Aneka Yess! Group, penerbit majalah alKisah, juga dihadiri pembaca setia alKisah di wilayah Jabodetabek. Hadir pula para habib asal Pekalongan, antara lain Habib Idrus Shahab, Habib Faried Assegaf, Habib Faik Hinduan, Habib Abdurrahman, Habib Lukman Bilfagih.

Acara diawali dengan penampilan kelompok hadrah Utan Kayu, yang membawakan beberapa lagu pujian dan shalawat kepada Rasulullah SAW. Dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Simthud Durar oleh Habib Abdurrahman Basurrah.

Iringan hadrah dan lantunan merdu shalawat yang menyelingi pembacaan Simthud Durar membuat suasana semakin khusyu’, terlebih dengan semerbaknya wewangian dupa dan bunga rampai Maulid khas Pekalongan, dan menenteramkan hati segenap hadirin, ditambah lagi udara dan cuaca yang cerah, menjadikan suasana majelis semakin terasa damai dan tenteram. Detik demi detik, menit demi menit tak terasa berlalu. Hadirin dibuai kekhusyu’an dan perasaannya masing-masing, menyimak untaian kisah Maulid yang terus mengalir.

Nuansa kerinduan kepada Rasulullah SAW semakin terasa pada saat asyraqal atau mahallul qiyam dikumandangkan dengan nada yang indah, diiringi irama hadrah yang syahdu. Ratusan jama’ah yang hadir memenuhi ruangan terlihat menuangkan ekpresiknya masing-masing mengikuti lantunan asyraqal.

Menjelang maghrib, acara pun ditutup dengan doa dan ramah tamah sambil menikmati hidangan yang disediakan panitia. Yaitu, nasi tomat yang gurih, dihidangkan langsung oleh shaibul bayt, Hj. Nuniek H. Musawa. Juga martabak dan kelengkeng kiriman dari Dian Rakyat. 

Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Jama’ah segera mempersiapkan diri untuk mengikuti shalat Maghrib berjama’ah. Mereka berwudhu di pancuran bambu, yang berbalutkan sabut kelapa, seperti pancuran yang mengalir dari bukit di kaki gunung, di halaman kantor alKisah.

Setelah selesai shalat dan doa bersama, yang dipimpin oleh Habib Basurrah, jama’ah bersalam-salaman dan meninggalkan majelis, dan insya Allah akan kembali lagi sebulan yang akan datang. Amin.…   

MS



Sumber: Majalah alKisah

30 May 2012

Manaqib Imam Ja’far Ash-Shodiq


Imam Ja’far Ash-Shodiq

[Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Ash-Shodiq (orang yang jujur). Beliau biasa dipanggil dengan panggilan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) pernah berkata, “Abubakar (Ash-Shiddiq) telah melahirkanku dua kali.”
Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq dilahirkan di kota Madinah pada hari Senin, malam ke 13 dari Rabi’ul Awal, tahun 80 H (ada yang menyebutkan tahun 83 H). Banyak para imam besar (semoga Allah meridhoi mereka) yang mengambil ilmu dari beliau, diantaranya Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraid, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah, Su’bah dan Ayyub. Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri. Umar bin Miqdam berkata, “Jika aku melihat kepada Ja’far bin Muhammad, aku yakin bahwa beliau adalah keturunan nabi.”
Sebagian dari mutiara kalam beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) adalah :
“Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.”
“Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.”
“Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus.”
“Barangsiapa yang rizkinya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Barangsiapa yang dibuat kagum oleh sesuatu dan menginginkannya demikian terus, maka perbanyaklah ucapan maa syaa-allah laa quwwata illa billah.”
“Allah telah memerintahkan kepada dunia, ‘Berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepadaku, dan buatlah payah orang yang berkhidmat kepadamu.’ “
“Fugaha itu orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu penguasa.”
“Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.’ “
“Empat hal yang tidak seharusnya bagi seorang yang mulia untuk memandang rendah : bangunnya dia dari tempat duduknya untuk menemui ayahnya, berkhidmatnya dia kepada tamunya, bangunnya dia dari atas binatang tunggangannya, dan berkhidmatnya dia kepada seorang yang menuntut ilmu kepadanya.”
“Tidaklah kebaikan itu sempurna kecuali dengan tiga hal : menganggapnya rendah (tidak berarti apa-apa), menutupinya dan mempercepatnya. Sesungguhnya jika engkau merendahkannya, ia akan menjadi agung. Jika engkau menutupinya, engkau telah menyempurnakannya. Jika engkau mempercepatnya, engkau akan dibahagiakannya.”
Dari sebagian wasiat-wasiat beliau kepada putranya, Musa :
“Wahai putraku, barangsiapa yang menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka ia akan merasa berkecukupan. Barangsiapa yang membentangkan matanya untuk melihat apa-apa yang ada di tangannya selainnya, maka ia akan mati miskin. Barangsiapa yang tidak rela dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka berarti ia telah menuduh Allah di dalam qadha’-Nya.”
“Barangsiapa yang memandang rendah kesalahannya sendiri, maka ia akan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Barangsiapa yang memandang kecil kesalahan orang lain, maka ia akan memandang besar kesalahannya sendiri.”
“Wahai anakku, barangsiapa yang membuka kesalahan orang lain, maka akan dibukakanlah kesalahan-kesalahan keturunannya. Barangsiapa yang menghunuskan pedang kezaliman, maka ia akan terbunuh dengannya. Barangsiapa yang menggali sumur agar saudaranya masuk ke dalamnya, maka ia sendirilah yang nanti akan jatuh ke dalamnya.”
“Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat orang-orang bodoh, maka ia akan dipandang rendah. Barangsiapa yang bergaul dengan ulama, ia akan dipandang mulia. Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat kejelekan, maka ia akan dituduh melakukan kejelekan itu.”
“Wahai putraku, janganlah engkau masuk di dalam sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa kepadamu, supaya engkau tidak menjadi hina.”
“Wahai putraku, katakanlah yang benar, walaupun berdampak baik kepadamu ataupun berdampak buruk.”
“Wahai putraku, jadikan dirimu memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, menyambung tali silaturrahmi kepada seorang yang memutuskan hubungan denganmu, menyapa kepada seorang yang bersikap diam kepadamu, dan memberi kepada seorang yang meminta darimu. Jauhilah daripada perbuatan mengadu domba, karena hal itu akan menanamkan kedengkian di hati manusia. Jauhilah daripada perbuatan membuka aib-aib manusia.”
“Wahai putraku, jika engkau berkunjung, maka kunjungilah orang-orang yang baik, dan janganlah mengunjungi orang-orang pendusta.”
Beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) meninggal di kota Madinah pada malam Senin, pertengahan bulan Rajab, tahun 148 H dan disemayamkan di pekuburan Baqi’ di dalam qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan bin Ali. Beliau meninggalkan lima orang putra, yaitu Muhammad, Ismail, Abdullah, Musa dan Ali Al-’Uraidhi (kakek daripada keluarga Ba’alawy).
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

29 May 2012

RIWAYAT ASSEGAF DI SUNGAI MESA, BANJARMASIN


RIWAYAT ASSEGAF DI SUNGAI MESA
Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin. Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis.

Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan dagangan dari perahu. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel.

Salah satu pendatang Hadramaut yang disebut-sebut pernah bermukim di wilayah ini adalah Habib Alwi bin Abdillah Assegaf (wafat pertengahan tahun 1800-an). Belakangan Habib Alwi (menurut versi lain Habib Alwi berfam Alaydrus, red) pindah bermukim ke Kampung Melayu, Martapura. Sang tokoh yang dikenal berpengaruh ini mendapat hadiah tanah di Karang Putih, Martapura (Jalan Menteri Empat) dari Sultan Adam (penguasa kraton Banjar periode 1825-1857). Tanah ini akhirnya sebagian difungsikan menjadi makam keluarga.

Habib Alwi dilaporkan melalui perjalanan panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan bermukim di Kampung Sungai Mesa. Tidak ada keterangan pula berapa lama beliau menjadi penduduk Sungai Mesa.

Pemukim dari golongan sayyid yang terhitung orang lama (tua) di Sungai Mesa adalah Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Ahmad diperkirakan lahir di paruh kedua pertengahan tahun 1800-an. Ahmad memiliki saudara bernama Umar, Muhdor dan Muhammad.
“Pekerjaan Habib Ahmad berdagang kayu ulin, juga membawa tajau, belanga berdagang dengan urang Dayak,” cerita Syarifah Nikmah, 70, buyutnya yang tinggal di rumah tua peninggalan sang leluhur di Sungai Mesa. “Sidin cangkal bacari (beliau rajin bekerja/mencari nafkah).”

Umar, saudara Ahmad, bahkan berniaga hingga Negeri Raffles. “Umar adalah pedagang besar,” kata Habib Abdurrahman bin Alwi, 74, sang buyut yang juga tinggal di kawasan Sungai Mesa.
Menurut Abdurrahman, yang datang pertama kali ke Banjar adalah orangtua Umar yakni Abdurrahman bin Thoha Assegaf.
“Abdurrahman berasal dari Seiwun, datang ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut,” ujarnya.

Kenang-kenangan perjalanan dagang Umar bin Abdurrahman bin Thoha Assegaf adalah batu nisan di makamnya (di pemakaman Turbah Sungai Jingah, Banjarmasin) yang diimpor dari Singapura. Putra Umar yang bernama Segaf, meneruskan tradisi dagang keluarganya bolak-balik Singapura-Pulau Pinang.

Putra Ahmad bin Abdurrahman yang bernama Muhammad berprofesi sebagai kapten kapal. Namun sejak peristiwa ia mampu menjalankan kapal yang mogok dengan kekuatan spiritual, Muhammad menjadi orang rumahan.

“Waktu hidup sidin hanya mambari banyu orang (mendoakan orang-orang yang datang berhajat). Rumah ini dulu penuh dengan orang-orang yang datang,” ujar Nikmah, sang cucu mengenang.
Keluarga Assegaf di Sungai Mesa mayoritas berasal dari rumpun marga Assegaf Assofi. Yang pertama kali menyandang marga ini adalah Umar bin Abdurrahman (almualim) bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf, keturunan generasi ke-26 Nabi Muhammad SAW.

Marga Assegaf merupakan leluhur induk dari banyak keluarga Alawiyin. Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah (generasi ke-22), adalah wali besar yang menurunkan 13 putra dan 7 putri. Dari putra-putra ini kelak lahir ulama-ulama besar bertaraf wali dengan kharisma dan memiliki spiritual power luar biasa, antara lain fam Alaydrus, Shahab/Shihab, AlQutban, AlMusawa, AlFakhir, Bin Syekh Abubakar, AlHamid, Bin Jindan, Bahsin dan Assofi Assegaf.

Manaqib Imam Abdullah Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir


al-Imam Ubadillah bin Ahmad al-Muhajir

Al-Imam Ubaidillah – Ahmad Al-Muhajir – Isa Ar-Rumi – Muhammad An-Naqib – Ali Al-’Uraidhi – Ja’far Ash-Shodiq – Muhammad Al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Fatimah Az-Zahro – Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau seorang imam yang agung dan dermawan, alim dan berakhlak mulia, penuh dengan sifat-sifat kebaikan dan kemuliaan.
Beliau juga seorang yang sangat tawadhu (rendah diri). Karena begitu tawadhunya, beliau tidak menamakan dirinya dengan nama Abdullah, akan tetapi di-tasghir1-kan menjadi Ubaidillah, semata-mata untuk mengagungkan Allah dan berendah diri di hadapan-Nya.

Beliau adalah seorang yang Allah memberikan keistimewaan sifat-sifat yang terpuji pada dirinya. Berkata AS-Sayyid Ali bin Abubakar mengenai diri beliau,
Abdullah, orang yang menjaga dirinya dalam agama, paling terkemuka dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya. Datuk para keturunan mulia, sumber kedermawanan, dan lautan ilmu, itulah tuan kami yang mulia.
Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama di jamannya. Di kota Makkah, beliau berguru kepada Asy-Syeikh Abu Thalib Al-Makky. Dibawah asuhan gurunya, beliau berhasil menamatkan pelajaran dari kitab gurunya tersebut yang berjudul Guut Al-Guluub.

Tampak pada diri beliau berbagai macam karomah yang dikaruniakan kepada dirinya. Beliau, Al-Imam Ubaidillah, jika meletakkan tangannya pada orang yang sakit, lalu beliau meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka sembuhlah si sakit itu.

Mengenai kedermawanannya, beliau jika menggiling kurma miliknya dan meletakkannya di tempat penggilingan, maka kurma-kurma itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak.
Beliau mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya, baik itu di dalam kezuhudannya, ilmunya ataupun ibadahnya. 

Setelah ayahnya wafat, beliau pindah ke daerah Saml, dan memberikan tanah miliknya ke budaknya yang telah dimerdekakannya yang bernama Ja’far bin Mukhaddam. Tinggallah beliau di kota Saml. Beliau menikah dengan wanita dari daerah tersebut dan dilahirkannya salah seorang anaknya yang bernama Jadid. Sampai akhirnya beliau menutup mata untuk terakhir kalinya di kota tersebut pada tahun 383 H.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

Niat


NIAT
Dari Abu Hurairoh RA. Berkata : Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihukum oleh Allah pada hari kiamat, adalah seorang yang mati syahid. Maka didatangkan orang yang syahid itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan orang yang "Syahid" pun mengenali ni'matnya. Allah berkata :"Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? dia berkata : "aku berperang di jalanMu sehingga aku mati syahid" Allah berkata :"kamu telah bohong, akan tetapi kamu berperang supaya kamu dikatakan sebagai seorang pemberani. dan kamu telah disebut demikian. kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.Dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan seseorang yang membaca al-qur'an. Maka didatangkan orang itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan diapun mengenali ni'matnya, Allah berkata : "Apa yang kamu lakukan dengan nikmatmu itu?" orang itu berkata :"aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan aku membaca al-qur'an itu semua kulakukan demiMu, Allah berkata :"kamu telah bohong!, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar orang2 mengatakan bahwa kamu orang yang berilmu dan kamu membaca al-qur'an supaya orang-orang mengatakan bahwa kamu seorang "qaari" dan kamu telah disebut demikian". Kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.Yang ketiga, seseorang yang dilimpahi Allah harta yang banyak dan dia meng-infak-an semua hartanya itu, Maka didatangkan orang itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan orang itu pun mengenali ni'matnya, Allah berkata : "Apa yang kamu lakukan dengan nikmatmu itu?" dia berkata :"Tidaklah aku meninggalkan satu jalan yang kamu cintai untuk mengnginfakan harta kecuali aku berinfak pada jalan itu hanya karenaMu. Allah berkata :" kamu telah bohong!, akan tetapi kamu melakukan itu supaya kamu dikatakan sebagai seorang dermawan, dan kamu telah disebut demikian. kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.(HR. Muslim)

"Niat saleh" adalah kecenderungan dan keinginan hati untuk berbuat baik. Suara hati merupakan sumber dan penyebab pertama timbulnya niat. Niat adalah ruhnya amal, seperti ruh bagi jasad, dan hujan bagi bumi. Barang siapa yang niat dan tujuannya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia memiliki niat yang saleh. Karena itulah beliau RA berkata, "carilah selalu niat-niat saleh".

Niat ada yang saleh dan ada yang buruk. Dalam suatu amal kadang kala dapat diperoleh niat yang banyak. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan niatnya."

Niat yang baik akan membuahkan amal yang baik,sedangkan niat yang buruk akan mengakibatkan amal yang buruk.
Allah berfirman: "Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya."
(QS Al-Bayyinah, 98:5) Yakni, dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Niat juga merupakan salah satu sebab untuk memperoleh taufik: Jika kedua juru pendamai itu berniat mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (untuk berdamai).
(QS An-Nisa, 4:35)

Nabi SAW bersabda, "Barang siapa berniat melakukan kebajikan, namun ia tidak mengamalkannya, Allah akan mencatatkan kebajikan baginya."
Dan sabdanya lagi: "Mereka kelak dikumpulkan berdasarkan niat mereka."
Imam At-Tsauri berkata, "Dahulu mereka mempelajari niat untuk beramal sebagaimana mereka mempelajari amal."

Dan diriwayatkan dalam kitab Taurat bahwa Allah Ta'ala berfirman, "Segala sesuatu yang diniatkan untuk-Ku, maka sedikitnya adalah banyak, dan segala sesuatu yang ditujukan kepada selain Aku, maka banyaknya adalah sedikit."
Bilal bin Sa'ad berkata, "Sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan ucapan seorang mukmin, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan amalnya, jika ia mengamalkannya, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan niatnya, jika niatnya baik, Allah akan memperbaiki kelemahan amalnya."

Niat adalah tiangnya amal, oleh karena itu amal sangat membutuhkan niat. Nabi SAW bersabda: "Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya." Hati adalah pengawas yang ditaati dan niat adalah amal hati. Amal tanpa niat yang saleh, tidak akan bermanfaat, dan amal dengan niat yang buruk, akan mencelakakan.

Banyaknya niat tergantung pada banyaknya usaha untuk berbuat kebaikan, keluasan ilmu dan ketekunan dalam menghimpun berbagai niat yang baik. Dan banyaknya niat ini dapat menyucikan dan melipat-gandakan amal. Namun maksiat akan tetap maksiat, karena niat baik tidak akan dapat merubahnya.

Berbagai amal yang mubah, dengan niat yang benar dari seorang yang sidq, dapat menjadi sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. Mereka yang selalu disibukkan dengan urusan keduniaan, niat-niat saleh tersebut tidak akan terlintas dalam benak mereka. Jika mereka mengaku memiliki suatu niat baik, ketahuilah, sesungguhnya itu hanyalah bisikan hati, bukan niat.

Saat melaksanakan atau meninggalkan suatu amal harus disertai dengan niat yang baik, karena meninggalkan suatu amal adalah amal juga. Oleh
karena itu, jangan sampai hawa nafsu yang tersembunyi menjadi penggerak suatu amal.

Karena alasan inilah beberapa sufi urung melaksanakan suatu ketaatan, karena gagal menetapkan niat yang baik.

Niat adalah fath dari Allah yang pada dasarnya tidak bisa diusahakan. Niat yang baik ini oleh Allah Ta'ala dianugerahkan kepada orang-orang yang berhati suci, memiliki ilmu yang luas dan selalu disibukkan dengan ajaran Allah.

Marilah kita senantiasa menjaga serta senantiasa memperbaharui niat atas segala amalan yang kita lakukan.
Niatkanlah segala amalan kita ini hanya karena Allah, ikhlaskanlah segala amalan kita agar kita mendapat keridhaanya.

Habib Noval bin Muhammad Alaydrus melindungi umat dari virus Wahabi



Lama tidak terdengar, muballigh, penerjemah, sekaligus penulis produktif, Habib Noval bin Muhammad Alaydrus, Solo, muncul dengan gebrakan baru. Berdakwah di komunitas bawah yang awam pemahaman agamanya.f

Belakangan, habib muda kelahiran Solo, 27 Juli 1975, ini mengubah haluan dakwahnya. Dari yang semula berada di zona “aman”, mengisi ta’lim di berbagai masjid dan majelis secara rutin, berkumpul dalam satu komunitas tertentu dengan habaib dan kiai, kini ia harus berpindah-pindah dan keliling dari satu tempat ke tempat lain, khusunya daerah yang sebagian besar penduduknya belum tersentuh pemahaman agama secara baik. Praktis, keberadaannya jarang terlihat di permukaan.

Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di Indonesia, wa bil khusus di Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim sementara orang sebagai aksi jihad.

Menurutnya, tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah umat.

Karena Hidayah Allah
Seolah mendapat ilham dari Allah SWT, mulai saat ini hingga beberapa waktu ke depan, ia akan lebih gencar membendung paham Wahabi, sebuah paham yang kerap menjadi embrio dalam pemahaman kelompok-kelompok umat yang ekstrem. Bukan dengan cara membumihanguskan paham tersebut, melainkan membentengi aqidah umat dari berbagai aliran yang menyimpang dari doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Sebab, menurutnya, Wahabi itu sesungguhnya kecil, umatlah yang membesarkannya dengan menjadi pengikutnya.

Masih menurut Habib Noval, umat Islam yang berpaham Wahabi itu tidak akan bisa berubah dengan berbagai mau’izhah dan dialog. Mereka hanya akan berubah dengan hidayah Allah. Dialog, sehebat apa pun dan segencar apa pun, tidak efektif bila hidayah Allah belum bermain. Masalahnya, keduanya, baik Ahlussunnah maupun Wahabi, sama-sama menggunakan dalil dan hadits yang hampir sama, hanya pemahamannya yang berbeda. “Seribu ulama Wahabi dan seribu ulama Ahlusunnah, bila beradu ilmu, masing-masing tidak akan menemukan titik temu. Umumnya, seseorang yang keluar dari Wahabi bukan karena ilmu, namun hidayah dari Allah SWT,” kata habib berusia 36 tahun ini.

Ada salah satu kisah menarik di Jawa Timur. Seorang pemuda Wahabi meyakini bahwa pahala mengirim hadiah surah Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak sampai kepadanya, dan dia berdebat habis-habisan dengan koleganya yang seorang Ahlusunnah wal Jama’ah.

Tiba-tiba datang salah seorang habib, dan diadukanlah perkara tersebut.

Menariknya, dengan ringan sang habib hanya menjawab, “Insya Allah sampai, buktikan saja sendiri.”

Malam harinya, pemuda Wahabi tersebut merasa penasaran dan ia pun ingin membuktikan saran sang habib, mengirim hadiah surah Al-Fatihah khusus untuk ayahnya, yang telah lama menghadap-Nya.

Ketika tidur di malam itu juga, ia bermimpi bertemu sang ayah. Bahkan dalam mimpinya itu ayahnya berkata, “Kenapa tidak dari dahulu kamu mengirimkan hadiah ini untuk ayah, Nak?”

Kontan saja ketika terbangun di pagi harinya ia merasa begitu trenyuh. Bahkan ia menjadi mempercayai mimpinya tersebut.

Tidak lama kemudian, ia mengisahkan mimpinya itu kepada teman debatnya. Sejak saat itu, ia pun menyakini dan selalu mengatakan kepada khalayak bahwa hadiah Al-Fatihah untuk orang yang telah meninggal itu sampai.

Artinya, perpindahan aqidah itu bukan karena ilmu, melainkan hidayah dari Allah SWT. Mungkin, seseorang yang baru mulai memasuki ajaran Wahabi masih bisa dipengaruhi dan diberi pemahaman untuk kembali. Tapi bagi yang sudah menjadi Wahabi sangat sulit. Menurut Habib Noval, mengutip perkataan Habib Ali Al-Habsyi, orang yang telah terkena penyakit Wahabi, susah sembuhnya.

Tegas sedari Awal
Sepertinya, sungguh tepat bila suami Syarifah Fathimah Qonita binti Ali Al-Habsyi, yang masih terhitung cucu Habib Anis Al-Habsyi, ini memutuskan untuk terjun ke lingkungan bawah yang selama ini awam wawasan keberagamaannya. Bukankah mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati?

Sebetulnya dakwah membendung paham Wahabi telah dilakukannya sejak beberapa tahun silam, semasa Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, guru sekaligus kakek mertuanya, masih hidup. Habib Noval merasa beruntung belajar langsung dengan habib kharismatis itu.

Sejak kecil, sepulang sekolah, mulai dari SD hingga SMA, ia, yang kini telah dianugerahi dua orang anak, selalu aktif di berbagai kegiatan di Masjid Ar-Riyadh, Solo. Yakni shalat berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, membacaan ratib, sampai mengikuti pengajian umum secara rutin, mulai dari tema sejarah nabi atau hadits, nahwu dan fiqih, tasawuf, hingga tafsir Al-Qur’an.

Pengembaraan pencarian ilmunya pernah mengantarkannya hingga nyantri di Pondok Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Pasuruan, Jawa Timur, yang kala itu diasuh oleh almarhum Ustadz Hasan Baharun. Namun, sang bunda tampak berat berpisah, ia pun akhirnya hanya sempat belajar di sana selama satu semester plus masa percobaan satu bulan. Jadi kurang lebih selama tujuh bulan.

Meski begitu, waktu yang sangat singkat ini dirasakannya sangat berarti. Sebab hanya dalam kurun waktu tujuh bulan, ia telah dapat berbahasa Arab relatif baik. Ini memang menjadi motivasinya. Pasalnya, ia selalu teringat dengan pesan sang kakek, almarhum Habib Ahmad bin Abdurrahman Alaydrus, bahwa, “Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, kamu telah menguasai setengah ilmu.”

Setelah mendapat restu sang guru, Ustadz Hasan, di tahun 1995, Habib Noval kembali ke kampung halamannya. Sambil terus belajar kepada Habib Anis dan beberapa habib dan kiai lainnya, ia juga mulai berdakwah.

Masa-masa awal itu ia tidak terjun langsung membina umat yang rentan menjadi basis sasaran Wahabi, namun tetap menyuarakan bahayanya aliran Wahabi dan Syi’ah. “Saya sudah berani tegas sejak pertama kali berdakwah. Masa itu Habib Anis masih ada. Dalam khutbah Jum’at misalnya, saya sangat tegas menentang Syi’ah dan Wahabi, namun bahasannya tetap santun dan ilmiah. Dikenal galak, karena berani menyuarakan yang hak dan bathil,” tutur Habib Noval.

Bila dipersentasekan, keberadaan kalangan awam itu jumlahnya sangat besar. Selama ini mereka kebanyakan beragama hanya ikut-ikutan. Namun mereka amat mendambakan kebaikan, sehingga mereka pun taat mengikuti berbagai ritus ibadah. Tidak hanya yang yang wajib, namun juga yang sunnah, seperti shalawatan, tahlilan, Maulidan, dan sebagainnya. Pada gilirannya, sikap taqlid mereka itu disalahgunakan oleh sekelompok tertentu untuk menebar ajakan agar meninggalkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.

Strategi para penebar ajaran itu semakin agresif. Mereka begitu keras menuduh pengamal ritus tersebut sebagai perilaku bid’ah dan sesat, dan para pelakunya kelak akan berada di neraka. Tuduhan itu dilontarkan langsung di hadapan umat. Bukan lagi hanya melalui buku-buku. Terkadang, mereka juga menyebarkannya lewat SMS. Segala cara ini mudah saja mereka lakukan, mengingat dukungan dana yang begitu besar.

Meluruskan Stigma Negatif Bid’ah

Mengenai bid’ah, kata Habib Noval, bid’ah itu sendiri terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Sayangnya selama ini kata bid’ah sudah begitu melekat dengan stigma negatif, yang setiap pelakunya itu ahli neraka. Mereka berhasil menempatkan kata bid’ah sebagi sesuatu yang buruk. “Maka saya harus berjuang merebut kembali istilah bid’ah agar tidak dikonotasikan negatif,” kata Habib Noval semangat.

Menurutnya, Syaikh Alwi Al-Maliki, yang berada di Arab Saudi, sarang Wahabi, saja tidak berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik lisan ketika berdakwah maupun tulisan dalam berbagai kitab dan bukunya. Apalagi muslim Sunni Indonesia, yang mayoritas. “Saya terpanggil, mulai saat ini harus lebih fokus memberantas paham Wahabi, terutama di Solo,” katanya kembali menegaskan.

Menyusul kesuksesan buku terdahulunya, Mana Dalilnya, yang juga ditujukan untuk menolak paham Wahabi, baru-baru ini Habib Noval meluncurkan buku terbarunya berjudul Ahlul Bid’ah Hasanah.

Sekilas buku ini memiliki kemiripan dengan buku sebelumnya. Namun menurut Habib Noval, buku ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Sesuai namanya, isi buku yang dibandrol seharga empat puluh lima ribu rupiah ini mengupas dalil dan sumber berbagai amaliah Ahlusunnah wal Jama’ah yang selama ini diklaim sebagai bid’ah dan sesat, serta mencantumkan pendapat para ulama yang kuat. Lebih praktis dan tegas. “Pada buku Mana Dalilnya, saya menggunakan kerangka berpikir Wahabi. Sementara buku ini kerangka berpikirnya tengah-tengah: Wahabi dan kaum santri,” katanya.

Aqidah umat mesti diperkuat, agar tidak mudah goyah. Salah satunya dengan membaca buku Ahlul Bid’ah Hasanah.

Tampaknya, buku ini akan kembali mendulang sukses seperti buku-buku karya Habib Noval sebelumnya.
Saat ini, bila ada yang mempengaruhi dan menuduh dengan berbagai label negatif terkait dengan Ya-Sinan, tahlilan, shalawatan, misalnya, umat tidak hanya diam, apalagi terpengaruh, mereka mulai berani membantah, dengan mengutarakan dalil-dalil yang kerap disampaikan Habib Noval, atau minimal tidak terpengaruh.

Semangat habib muda ini dalam membentengi aqidah umat begitu tinggi. Untuk mendukung dakwahnya, kini Habib Noval juga merambah bisnis kaus oblong dengan berbagai gambar dan kata-kata ciri khas Ahlusunnah wal Jama’ah yang menggugah. Ini diproduksinya sendiri menggunakan label “Abah”, singkatan “Ahlul Bid’ah Hasanah”.

“Pada produksi kaus, saya menggunakan kata-kata yang menyentuh tapi tidak provokatif, seperti ziarah kubur, Ya-Sinan, tahlilan, Maulidan, kemudian diarahkan dengan menggunakan tanda panah ke kata surga. Kemudian, kalimat Lebih baik gila dzikir daripada waras namun tidak dzikir,” kata Habib Noval.

Respons masyarakat cukup besar. Produksi pertama pada Ramadhan lalu, sebanyak 750 telah habis diserbu konsumen. Saat ini produksi kedua mencetak 1.500 kaus dengan dua varian, lengan panjang dan pendek. Warnanya beragam, mulai dari putih, biru, merah, hingga hitam.

http://www.majalah-alkisah.com

Membangun Dengan Cinta

Attention: open in a new window.
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Al-Imam Muhammad Al-Baqir mendengar  berita tentang perzinaan. Seketika itu juga wajah beliau berubah menjadi pucat dan bibir bergetar yang disertai titikan air mata. Lalu perlahan beliau berkata :"mereka adalah umat nabi Muhammad SAW".

Padahal beliau tidaklah mengenal orang yang telah berzina itu akan tetapi yang beliau sadari adalah bahwa yang terjatuh dalam zina tersebut adalah umat Nabi Muhammad SAW. Maka beliau pun menyesal dan menangisi hal itu. Apa yang telah dilakukan oleh Al-Imam Muhammad Al-Baqir adalah penerapan dari makna Hadits Nabi SAW "tidak sempurna iman seseorang dari kamu  sehingga enggkau mencintai saudaramu seperti mencintai untuk dirimu sendiri".

Jika kita melihat kesalahan itu terjadi pada saudara kita hendaklah kita melihat mereka dengan mata kasih dan disertai dengan do'a-do'a demi kebaikanya. Sebab jika bukan karena perlindungan Allah pada kita maka  kesalahan  itupun bisa saja terjadi pada diri kita.

Akan tetapi disaat kita melihat seseorang terjerumus dalam kemaksiatan justru kesombongan kitalah yang muncul.  Lalu terlalu cepat kita menilai mereka dengan mata picik dan merendahkannya. Hal ini dikarenakan pandangan kita yang picik memandang bahwa kita lebih baik daripada orang lain. Dan banyak dari kita tidak menyadari hal  bahwa hal itu adalah merupakan  sebuah kesombongan tersembunyi.

Sungguh makna ketulusan akan menghantarkan seseorang untuk semakin baik kepada sesama, merindukan yang lainya agar mendapatkan kebaikan seperti yang telah ia peroleh.

Artinya ada kemulyaan dan kehinaan yang tersembunyi di balik cara pandang kita. Dan akan sangatlah berbeda cara pandang orang yang senantiasa merindukan orang lain agar senantiasa dekat kepada Allah SWT dengan  pandangan orang yang meredahkan orang lain dan hanya  melihat dirinyalah orang yang paling mulia dan benar.

Sebagai contoh, ketika kita melihat saudara kita mabuk-mabukan. Apa kira-kira yang ada di hati kita saat itu? Akankah hati kita terenyuh, menangis kemudian memohon kepada Allah agar mengangkat saudara kita dari kehinaan dan mengampuni dosa-dosanya. Atau justru malah sebaliknya, kita melihat mereka dengan mata picik, meremehkan  dan menghinakan mereka. Itu adalah dua cara pandang yang berbeda yang bersumber dari hati yang berbeda. Yang membedakan adalah "cinta" dan "kesombongan".

Menata hati agar senantiasa sadar akan kekurangan dirinya akan meredam luapan semangat untuk memperhatikan cela orang lain dengan mata meremehkan. Dan hal itu akan menjadikan dirinya amat berhati-hati dalam melihat cela orang lain. Sebab semua kesalahan yang terjadi pada orang lain bisa saja terjadi pada dirinya sendiri.

Yang ada adalah melihat kesalahan yang dilakukan orang lain dengan kecemburuan kasih, penyesalan yang dalam dan cinta serta rindu untuk membawanya kepada kesadaran dan taubat.  Lebih dari itu kesadaran makna  ini akan menghantarkan seseorang "jauh dari menggunjing" orang lain. Dan sungguh tidak ada gunjingan di suarakan kecuali disaat hilangnya rasa kasih dan cinta. Dan kesadaran inilah titik yang sering terlupakan untuk membangun sebuah bangsa dan negara.

Begitu sebaliknya, hati yang dipenuhi sampah kesombongan akan selalu membuka mata seseorang agar senantiasa melihat cela orang lain dengan merendahkannya dan lupa akan kekurangan dirinya sendiri. Alangkah mudahnya menggunjing orang lain bagi orang yang seperti ini.

Bersama itu juga, akan hilang rasa kasih-sayang dan saling mencitai sebagai pertanda dari sebuah makna keimanan. Disinilah awal bencana. Selanjutnya akan sangat mudah terjadi kedholiman, kerakusan dan ketidak pedulian kepada sesama. Dan disaat itu, amatlah sulit dibangun suatu masyarakat , bangsa dan negeri yang aman, tentram dan damai.

Wallahu a'lam bishshowab.

www.buyayahya.org