Syeikh
‘Abdulqâdir Al-Jailânî bila berceramah menggunakan bahasa yang sangat
sederhana. Anak beliau yang telah banyak menuntut ilmu dan gemar
berceramah berkata dalam hati, “Jika aku diizinkan berceramah, tentu
akan lebih banyak orang yang menangis.”
Suatu hari Syeikh ‘Abdulqâdir
Al-Jailânî ingin mendidik anaknya. Ia berkata kepadanya, “Wahai anakku,
berdiri dan berceramahlah.” Si anak kemudian berceramah dengan sangat
bagus. Namun, tidak ada seorang pun yang menangis dan merasa khusyu’.
Mereka bahkan bosan mendengar ceramahnya. Setelah anaknya selesai
berceramah Syeikh ‘Abdulqâdir naik ke mimbar lalu berkata, “Para
hadirin, tadi malam, isteriku, ummul fuqorô`, menghidangkan ayam
pangang yang sangat lezat, tapi tiba-tiba seekor kucing datang dan
memakannya.” Mendengar ucapan ini, para hadirin menangis dan menjerit.
Si anak berkata, “Aneh…, aku bacakan kepada mereka ayat-ayat Quran,
hadis-hadis Nabi, syair dan berbagai akhbâr, tidak ada seorang
pun yang menangis. Tapi, ketika ayahku menyampaikan ucapan yang tidak
ada artinya, mereka justru menangis. Sungguh aneh, apa sebabnya?”.
Hikmah di Balik Kisah
Habib ‘Umar bin Hafidz berkata:
Inti ceramah bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada kesucian hati dan sifat shidq si
pembicara. Sewaktu Sayidina Jailani berbicara, para hadirin menangis
karena mengartikan kucing dalam cerita beliau sebagai setan yang mencuri
amal anak cucu Adam dengan cara menimbulkan sikap riya, ujub dan
sombong. Ada yang menangis karena mengibaratkan cerita itu dengan
keadaan sû-ul khôtimah, yakni ia membayangkan seseorang yang memiliki amal sangat banyak, tapi usianya berakhir dengan sû-ul khôtimah.
Mereka semua menangis dan merasa takut kepada Allâh hanya karena ucapan
biasa. Sesungguhnya ucapan itu telah membuat mereka berpikir,
menerbitkan cahaya di hati mereka, berkat cahaya yang memancar dari hati
Syeikh ‘Abdulqâdir Al-Jailânî.
Kita juga mendengar bahwa kesan yang
ditimbulkan oleh ucapan-ucapan Habîb ‘Alwî bin Syihâbuddîn sangat kuat,
padahal beliau bicara dengan bahasa yang sangat sederhana. Walau beliau
hanya berbicara, “Lihatlah keadaan kita ini, bagaimana amal kita?”
Namun, ucapan beliau ini menghunjam ke dalam hati pendengarnya dan
meninggalkan kesan sangat dalam. Sehingga mereka menangis, menjadi
khusyu’ dan bertobat kepada Allâh. Semua ini karena sifat shidq dan keikhlasan beliau.
Jadi yang paling banyak memberikan manfaat adalah sikap shidq
dan ikhlas. Kita boleh saja membiasakan diri untuk berceramah, memilih
ucapan yang dapat dipahami, yang baik dan bagus, mempelajari berbagai
buku dan menyimak ceramah para khotib dan ucapan ~ kalâm ~ kaum arifin. Namun, kita harus bersandar kepada Allâh Ta’âlâ, memohon kepada-Nya agar dapat bersikap shidq dan ikhlas.
Habib Muhammad bin ‘Abdullâh Al-‘Aidarûs berkata:
Ucapan akan muncul sesuai dengan keadaan
batin pembicara: tenang ataupun gelisah. Sebab, keadaan batin
mempunyai hubungan sangat erat dengan kata-kata yang dituturkan.
Bukankah kamu pernah melihat seseorang berbicara kepada temannya dengan
kalimat yang pada lahirnya kasar dan buruk, tapi karena muncul dari jiwa
yang baik, maka ucapannya tadi tidak berpengaruh, atau tidak memberikan
kesan buruk kepadanya. Ucapan semacam ini, jika keluar dari jiwa yang
penuh gejolak dan hati yang buruk akan menggerakkan dan membangkitkan
keburukan dari lawan bicaranya. Oleh karena itu, pada saat berbicara
hendaknya manusia memperhatikan keadaan jiwanya ataupun suasana hati
orang lain agar tercapai kebaikan dan ketenangan.
Betapa indah ucapan
Sayidina ‘Alî kwh ketika menjelaskan rahasia ucapan:
مَغْرَسُ الْكَلاَمِ اَلْقَلْبُ، وَمُسْتَوْدَعُهُ
الْفِكْرُ، وَمُقَوِّيْهِ الْعَقْلُ، وَمُبْدِيْهِ اللِّسَانُ، وَجِسْمُهُ
الْحُرُوْفُ، وَرُوْحُهُ الْمَعْنَى، وَحِلْيَتُهُ اْلإِعْرَابُ،
وَنِظَامُهُ الصَّوَابُ
Wadah (lahan) ucapan adalah hati,
gudangnya adalah pikiran (fikr), penguatnya adalah akal, pengungkapnya
adalah lisan, jasadnya adalah huruf, ruhnya adalah makna, hiasannya
adalah i’râb dan aturannya adalah kebenaran.
Pengaruh ucapan pada pendengar
tergantung pada jiwa pembicara. Jika ucapan tersebut muncul dari jiwa
yang kuat, maka akan memberikan kesan yang kuat. Dan jika muncul dari
jiwa yang lemah, maka akan memberikan kesan yang lemah. Oleh karena
itu, sebelum berbicara manusia harus memperhatikan keadaan jiwanya agar
kalimat yang ia ucapkan muncul dari jiwa yang tenang (sakînah).
No comments:
Post a Comment