Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
إنه
تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه
المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة
المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada
tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan
Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan
tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun
pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j.
2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh
al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan
Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam
asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل
عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية
كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في
صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا
والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه
الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه
الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas
ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah
menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum
menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya
perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena
sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila
demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu
yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci
dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri
dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya
sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya
terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari
Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami,
istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh
al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang
firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam
asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من
الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت
ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا
لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه،
وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن
المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini
termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki
kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara
mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak
kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan
tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah
meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak
diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari
batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak
membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan
dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang
lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya
batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi
Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari
sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah
adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian
pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap
sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat
dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga
dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya.
Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga
harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan
tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata
mustahil bagi Allah.
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang
Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah
menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah,
maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya
menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang
tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam
mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum
Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah
bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di
langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan
langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
http://www.facebook.com/notes/abou-fateh/aqidah-imam-asy-syafii-w-204-h-allah-ada-tanpa-tempat-awas-anda-jangan-terkecoh-/140037233329
http://www.facebook.com/abou.fateh.9
Marquee text
- Home
- Artikel
- Salafi-Wahabi
- About Syiah
- Apakah syiah itu ?
- Apa Madhab Ahlul Bait?
- Apa Ahlussunnah Waljamaah?
- Kapan lahirnya Aqidah Aswaja ?
- perbedaan Aswaja dgn Syiah ?
- Apa dan siapa Al-Bayyinat
- Rijalul Bayyinat
- Sahabat Nabi SAW
- Khalifah Abu Bakar R.A
- Ahlul Bait
- Imam Ali K.W.
- Fatimah Az-Zahra R.A
- Alawiyyin
- Asyura
- Mut'ah
- Himbauan dari Al-Bayyinat
- Al Firgoh An Najiah
- Fatawa Imam/ Ulama
- Email Al-Bayyinat
- Link-link situs islami
- Akidah Menurut Ajaran Nabi
- Alawiyyin
- Aswaja
- Download
- Audio
- About Me
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment