Saat berdiskusi dengan seorang dosen filologi, saya jadi sadar betapa berharganya naskah kuno bagi sebuah bangsa. Bahkan eksistensi bangsa itu bisa terjaga bila naskah kunonya dijaga dan dipelajari.
Misalnya saja, dari Surat Emas Raja-Raja Nusantara http://www.indonesiaheritage.org/…/surat-emas-raja-raja-nus…
terbukti bahwa selama lebih dari empat ratus tahun, raja-raja di Nusantara menulis surat dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Huruf Arab-Persia) kepada para raja di luar negeri. Salah satunya, surat Sultan Iskandar Muda dari Aceh pada tahun 1615, yang ditujukan kepada Raja James I.
Perhatikan: surat itu tidak dalam bahasa Inggris. Artinya, para raja dan pembesar di mancanegara-lah yang harus mempelajari bahasa Melayu. Artinya, saat itu, siapa yang lebih dominan dan lebih berkuasa? Jelas nenek moyang kita, bangsa Melayu. Dan keunggulan budaya itu tentu tidak ujug-ujug muncul tahun 1600-an itu, pasti ada proses panjang yang mendahuluinya.
Lalu, mengapa situasinya kini sangat berbalik? Mengapa yang disebut-sebut sebagai budaya ‘nenek moyang kita’ bukan budaya yang unggul ini; yang pasti membuat rasa nasionalisme dan rasa bangga sebagai Indonesia membuncah, dan akan memicu keberanian saat bernegosiasi dengan bangsa lain.
Tidak seperti sekarang: orang Indonesia cenderung inferior di hadapan orang Barat.
Mengapa hari ini justru kita yang dihegemoni oleh bahasa Inggris? Sudah jadi mindset umum: orang yang berpendidikan harus mahir berbahasa Inggris; kalau tak bisa, akan diolok-olok.
Pertanyaan berikutnya: mengapa naskah-naskah kuno Nusantara justru banyak disimpan di Belanda dan Inggris? Mengapa mereka mengangkut naskah-naskah itu jauh-jauh ke Eropa?
Kisah lain, ada naskah kuno di sebuah pulau di Indonesia yang ‘konon’ dihuni orang primitif. Dalam naskah itu disebutkan bahwa mereka (penduduk pulau itu) biasa menggunakan satu jenis tumbuhan liar tertentu untuk pengontrol kehamilan. Yang meneliti naskah -sayangnya- orang Barat, dan orang Barat pula yang kemudian memproduksi obat anti-hamil dengan berdasarkan pengetahuan tersebut.
Nah, pertanyaannya: bila orang-orang pulau itu sudah bisa membuat naskah ratusan tahun yang lalu, bagaimana mungkin mereka sampai sekarang masih ‘primitif’ dan terbelakang? Keberadaan naskah menunjukkan peradaban. Artinya, penduduk pulau itu dulu adalah orang-orang berperadaban tinggi.
Apa yang sudah terjadi terhadap mereka sehingga berbalik menjadi primitif?
[Maaf, karena ini sumbernya lisan, saya tidak menyebut nama pulaunya. Yang jelas, pulau itu sangat kaya bahan tambang, tetapi penduduknya sampai hari ini masih berpakaian primitif dan sebagian bahkan masih berburu di hutan untuk mencari makan.]
Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa terjawab oleh kutipan kata-kata Kundera dalam gambar diatas.
Dan inilah yang (seharusnya) membuat kita semua menangisi aksi-aksi pemusnahan buku-buku oleh ISIS. Saya pernah menulis artikel tentang kekejian ISIS membakar ribuan manuskrip kuno di Timbuktu (Mali).
Dan hari ini saya membaca artikel ini, ISIS Membakar 8000 Manuskrip Kuno di Mosul (Irak). Baik Timbuktu maupun Mosul, adalah kota-kota penyimpan catatan keunggulan peradaban Islam. Apa gunanya semua catatan itu dihanguskan? Silahkan baca lagi kata-kata Milan Kundera di atas.
Dan jangan lupa, praktik perampokan naskah kuno juga dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Videonya bisa dilihat di sini https://dinasulaeman.wordpress.com/…/perampokan-buku-di-pa…/
Kesesuaian perilaku ISIS* dengan perilaku para penjajah dunia, tentu menarik untuk jadi bahan kajian selanjutnya.
Semoga tulisan singkat ini bisa memicu kewaspadaan atas potensi kelompok-kelompok radikal itu melakukan hal yang sama di Indonesia: membakari buku-buku berharga di perpustakaan-perpustakaan kita untuk menghancurkan sendi-sendi NKRI.
—
*Jangan lupa, sebelum pakai nama ISIS, mereka punya nama-nama lain; dan di antara nama-nama itu kini saling bermusuhan tapi dasar ideologinya tetap sama. Jadi jangan tertipu pada klaim sebagian kelompok radikal yang mengaku “kami bukan ISIS”.
https://dinasulaeman.wordpress.com/…/mengapa-isis-membenci…/
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,45-id,405…
Sumber: GenerasiMudaNu
terbukti bahwa selama lebih dari empat ratus tahun, raja-raja di Nusantara menulis surat dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Huruf Arab-Persia) kepada para raja di luar negeri. Salah satunya, surat Sultan Iskandar Muda dari Aceh pada tahun 1615, yang ditujukan kepada Raja James I.
Perhatikan: surat itu tidak dalam bahasa Inggris. Artinya, para raja dan pembesar di mancanegara-lah yang harus mempelajari bahasa Melayu. Artinya, saat itu, siapa yang lebih dominan dan lebih berkuasa? Jelas nenek moyang kita, bangsa Melayu. Dan keunggulan budaya itu tentu tidak ujug-ujug muncul tahun 1600-an itu, pasti ada proses panjang yang mendahuluinya.
Lalu, mengapa situasinya kini sangat berbalik? Mengapa yang disebut-sebut sebagai budaya ‘nenek moyang kita’ bukan budaya yang unggul ini; yang pasti membuat rasa nasionalisme dan rasa bangga sebagai Indonesia membuncah, dan akan memicu keberanian saat bernegosiasi dengan bangsa lain.
Tidak seperti sekarang: orang Indonesia cenderung inferior di hadapan orang Barat.
Mengapa hari ini justru kita yang dihegemoni oleh bahasa Inggris? Sudah jadi mindset umum: orang yang berpendidikan harus mahir berbahasa Inggris; kalau tak bisa, akan diolok-olok.
Pertanyaan berikutnya: mengapa naskah-naskah kuno Nusantara justru banyak disimpan di Belanda dan Inggris? Mengapa mereka mengangkut naskah-naskah itu jauh-jauh ke Eropa?
Kisah lain, ada naskah kuno di sebuah pulau di Indonesia yang ‘konon’ dihuni orang primitif. Dalam naskah itu disebutkan bahwa mereka (penduduk pulau itu) biasa menggunakan satu jenis tumbuhan liar tertentu untuk pengontrol kehamilan. Yang meneliti naskah -sayangnya- orang Barat, dan orang Barat pula yang kemudian memproduksi obat anti-hamil dengan berdasarkan pengetahuan tersebut.
Nah, pertanyaannya: bila orang-orang pulau itu sudah bisa membuat naskah ratusan tahun yang lalu, bagaimana mungkin mereka sampai sekarang masih ‘primitif’ dan terbelakang? Keberadaan naskah menunjukkan peradaban. Artinya, penduduk pulau itu dulu adalah orang-orang berperadaban tinggi.
Apa yang sudah terjadi terhadap mereka sehingga berbalik menjadi primitif?
[Maaf, karena ini sumbernya lisan, saya tidak menyebut nama pulaunya. Yang jelas, pulau itu sangat kaya bahan tambang, tetapi penduduknya sampai hari ini masih berpakaian primitif dan sebagian bahkan masih berburu di hutan untuk mencari makan.]
Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa terjawab oleh kutipan kata-kata Kundera dalam gambar diatas.
Dan inilah yang (seharusnya) membuat kita semua menangisi aksi-aksi pemusnahan buku-buku oleh ISIS. Saya pernah menulis artikel tentang kekejian ISIS membakar ribuan manuskrip kuno di Timbuktu (Mali).
Dan hari ini saya membaca artikel ini, ISIS Membakar 8000 Manuskrip Kuno di Mosul (Irak). Baik Timbuktu maupun Mosul, adalah kota-kota penyimpan catatan keunggulan peradaban Islam. Apa gunanya semua catatan itu dihanguskan? Silahkan baca lagi kata-kata Milan Kundera di atas.
Dan jangan lupa, praktik perampokan naskah kuno juga dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Videonya bisa dilihat di sini https://dinasulaeman.wordpress.com/…/perampokan-buku-di-pa…/
Kesesuaian perilaku ISIS* dengan perilaku para penjajah dunia, tentu menarik untuk jadi bahan kajian selanjutnya.
Semoga tulisan singkat ini bisa memicu kewaspadaan atas potensi kelompok-kelompok radikal itu melakukan hal yang sama di Indonesia: membakari buku-buku berharga di perpustakaan-perpustakaan kita untuk menghancurkan sendi-sendi NKRI.
—
*Jangan lupa, sebelum pakai nama ISIS, mereka punya nama-nama lain; dan di antara nama-nama itu kini saling bermusuhan tapi dasar ideologinya tetap sama. Jadi jangan tertipu pada klaim sebagian kelompok radikal yang mengaku “kami bukan ISIS”.
https://dinasulaeman.wordpress.com/…/mengapa-isis-membenci…/
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,45-id,405…
Sumber: GenerasiMudaNu
No comments:
Post a Comment