Mereka bertanya mengapa kita panggil Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dengan sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
?
Pertanyaan ini pada hakikatnya tidaklah terkait dengan dalil atau hujjah namun bagian dari akhlak.
Sebagian ulama (ahli ilmu) pada zaman modern ini memahami ilmuNya secara ilmiah/logika yakni menggunakan pikiran dan memori.
Jumhur ulama sejak dahulu memahami ilmuNya secara hikmah yakni menggunakan akal dan hati
Pikiran adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami dengan menterjemahkan)
Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran)
Berpikir dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat.
Hati dalam bentuk jasmani adalah “segumpal darah”
Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”
Orang-orang “Barat” yang umumnya non muslim yang berpikir secara
ilmiah/logika dapat kita temui anak-anak memanggil orang tua mereka
dengan namanya dan murid-murid memanggil guru mereka dengan namanya.
Kita orang-orang “Timur” khususnya kaum muslim memangil orang tua
laki-laki kita dengan panggilan “ayah”, “abi”, “papa” dll sebagai
penghormatan dan ikatan bathin/ruhani
Kita memanggil “ayah”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang anak.
Kita memanggil “pa guru” , pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang murid.
Kita memanggil “ya Robb”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai hamba Allah.
Kita memanggil “sayyidina” kepada Rasulullah, pada hakikatnya adalah
memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebaga ummat beliau
Perbuatan memanggil “hubungan” adalah yang dimaksud dengan perbuatan bathin atau ruhani yang berhubungan dengan akal dan hati.
Contoh lain di kalangan orang jawa walaupun yang memanggil lebih tua
namun sebagai penghormatan tetap memanggil yang muda dengan “mas”.
Kalau kita pahami secara ilmiah/logika maka itu kita katakan keliru
seharusnya memanggilnya “dik” namun kalau kita pahami secara hikmah
(akal dan hati) maka panggilan tersebut sah-sah saja
Apa yang kami sampaikan adalah apa yang dinamakan “hakikat”.
Pada zaman sekarang ini ulama (ahli ilmu) mulai melupakan yang namanya “hakikat”.
Semua itu ditengarai karena ulama-ulama mulai tercemar atau terserang
ghazwul fikri dari pemikir-pemikir agama Islam namun mereka adalah non
muslim. Mereka mendirikan “pusat kajian Islam” yang dipimpin oleh
orientalis barat/non muslim. Aneh memang ada cendekiawan muslim namun
belajar agama kepada orientalis barat/non muslim. Pastilah akam
mendapatkan ilmu agama sebatas secara ilmiah/logika.
Syariat dapat dipahami secara ilmiah/logika dengan pikiran dan memori
namun untuk selanjutnya tharikat, hakikat dan ma’rifat harus dipahami
secara hikmah atau dengan akal dan hati
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia
tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa
dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Tharikat, hakikat, ma’rifat yang disebut juga tauhid tingkat lanjut
Tauhid tingkat lanjut tidak dapat dipahami oleh mereka yang tidak bersyahadat (non muslim)
Secara lengkap syariat, tharikat, hakikat, ma’rifat dinamakan dengan tasawuf atau tentang ihsan atau tentang akhlak.
Oleh karenanya dikatakan oleh sebagian ulama bahwa “modernisasi agama
Islam” sebenarnya adalah “pendangkalan ajaran agama Islam” dan
dikatakan “ulama pembaharu” sebenarnya adalah mereka yang
“mendangkalkan” ajaran agama Islam.
Semoga saudara-saudara ku para pembaca dapat memahami bagaimana “peta” dunia Islam sesungguhnya.
Ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz hanyalah sebagai
bekal/syarat/syariat bagi kita untuk tujuan sesungguhnya. Tujuan
sesungguhnya adalah memperjalankan diri kita (jasmani dan ruhani) pada
jalan yang lurus menuju kepada Allah Azza wa Jalla sang pemilik
ilmuNya.
“
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh
kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat
yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Oleh karenanya marilah kita temui Allah Azza wa Jalla dengan sholat
sunnat dua raka’at dan mohon ampunanNya atas ketersia-siaan waktu
karena ilmuNya begitu luas tidak hanya sebagaimana syaikh/ulama/ustadz
ajarkan kepada kita.
Biarkanlah Allah Azza wa Jalla yang membimbing kita sekalian untuk memahami ilmuNya.
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan
Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
“
…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).
Jika kita telah ada kemauan untuk menuju kepadaNya, Allah Azza wa
Jalla akan menentukan melalui sarana apa kita akan dibimbingnya seperti
hati, ilham, firasat, mimpi atau melalui kekasihNya (Wali Allah), dan
sarana lain yang dikehendakiNya.
71.9/6475. Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah
mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah menceritakan
kepadaku Sa’id bin Musayyab, bahwasanya Abu Hurairah menuturkan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kenabian tidak ada
lagi selain “berita gembira”, para sahabat bertanya; ‘apa maksud “berita
gembira”? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; mimpi yang
baik.
Sumber:
http://www.indoquran.com/index.php?surano=71&ayatno=9&action=display&option=com_bukhari
71.14/6480.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah
menceritakan kepada kami Al Laits dari Ubaidullah bin Abi Ja’far telah
mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Qatadah mengatakan, Nabi
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “mimpi yang baik adalah berasal
dari Allah, sedang mimpi yang buruk berasal dari setan, maka barangsiapa
melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah ke samping
kirinya sebanyak tiga kali, dan mintalah perlindungan dari setan,
sesungguhnya mimpinya tersebut tidak akan membahayakannya, dan setan
tidak mungkin bisa menyerupaiku.”
Sumber:
http://www.indoquran.com/index.php?surano=71&ayatno=14&action=display&option=com_bukhari
Contoh bimbingan melalui mimpi
14.159/1575. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah
mengabarkan kepada kami An-Nadhar telah mengabarkan kepada kami Syu’bah
telah menceritakan kepada kami Abu Jamrah berkata; Aku bertanya kepada
Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma tentang muth’ah (hajji tamattu’), maka
dia memerintahkan aku untuk melaksanakannya. Dan aku bertanya pula
kepadanya tentang Al Hadyu (hewan qurban), maka dia berkata: ‘Untuk Al
Hadyu boleh unta, sapi atau kambing atau bersekutu dalam darahnya
(kolektif dalam penyembilahannya). Dia berkata: Seakan orang-orang tidak
menyukainya. Kemudian aku tidur lalu aku bermimpi seakan ada orang yang
menyeru: Hajji mabrur dan tamattu’ yang diterima. Kemudian aku menemui
Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma lalu aku ceritakan mimpiku itu, maka dia
berkata: Allahu Akbar, ini sunnah Abu Al Qasim
Shallallahu’alaihiwasallam. Dia berkata; Dan berkata, Adam, Wahb bin
Jarir dan Ghundar dari Syu’bah dengan redaksi: ‘Umrah mutaqabbalah
(Umrah yang diterima) dan hajji mabrur.
Sumber:
http://www.indoquran.com/index.php?surano=14&ayatno=159&action=display&option=com_bukhari
Jangan ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz justru menghijab
diri kita dengan Allah Azza wa Jalla. Hal ini diungkapkan oleh ulama
Tasawuf sebagai berikut,
Mereka yang terhalang melihat Allah yakni mereka yang tertutup dari
cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya atau amalnya.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada
Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari
Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jallan dengan qalbunya, ketika
terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara
diri mereka dengan DiriNya.
Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan
segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa
Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka
hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara
baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi
kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara
total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.
Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya
orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang
terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang
bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti
bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Kita katakan bahwa sholat yang kita lakukan selama ini adalah
berdasarkan ilmu dari syaikh/ulama/ustadz adalah sebagaimana sholatnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun sebagaimana yang dilakukan
para Sahabat. Pertanyaannya adalah, sudahkah sholat yang kita lakukan
tersebut menghantarkan kita ke hadhirat Allah Azza wa Jalla ?
Walaikumsalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Note:
Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”
Sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/15739/07/03/2011/hukum-sebut-%E2%80%9Csayyid%E2%80%9D-untuk-rasulullah.html
Dar Al Ifta Al Mishriyah, lembaga fatwa resmi Mesir dalam fatwa no. 292,
membahas mengenai hukum mengucap “Sayyiduna” kepada Rasulullah
Shallallahu Alahi Wasallam. Fatwa ini dikeluarkan untuk merespon
permohonan fatwa bernomor 2724, yang diajukan ke Dar Alifta, mengenai
masalah tersebut.
Dalam fatwa itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wassalam
merupakan “Sayyid” (tuan) bagi seluruh makhluk adalah ijma’ umat Islam.
Bahkan beliau sendiri telah bersabda,”Aku adalah sayyid (tuan) anak
Adam”, dan diriwayat lain disebutkan,”Aku sayyid (tuan) manusia”, yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Sedangkan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk memuliakan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami
telah mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi
peringatan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan
menolong-Nya, mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di pagi hari
dan petang.” (Al Fath: 8-9)
Sebagian ulama menilai bahwa perintah mengagungkan, kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menurut Imam Qatadah dan As Suddi, mengagungkan
Rasulullah termasuk mensayyidkan beliau.
Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”
Dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, ”Kami
melalui tempat air mengalir, maka aku turun dan mandi dengannya, setelah
itu aku keluar dalam keadaan demam. Maka hal itu dikabarkan kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam. Maka beliau bersabda,
”Perintahkan Aba Tsabit untuk meminta perlindungan.” Saya
mengatakan,”Wahai Sayyidku (tuanku) apakah ruqyah berfungsi?” Beliau
bersabda,”Tidak ada ruqyah kecuali karena nafs (ain), demam atau bisa.”
(Al Hakim, beliau menyatakan isnadnya shahih)
Shalawat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar gunakan “Sayyid”
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga menyebut “Sayyid” untuk Rasulullah
dalam shalawat beliau berdua. Ibnu Mas’ud pernah mengajarkan,”Jika
kalian bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka
baguskanlah shalawat untuk beliau, sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa
shalawat itu ditunjukkan kepada beliau. Maka, mereka mengatakan kapada
Abdullah bin Mas’ud,’Ajarilah kami.’ Ibnu Mas;ud menjawab,’Ucapkanlah,
Ya Allah jadikanlah shalat-Mu dan rahmat-Mu dan berkah-Mu untuk Sayyid
Al Mursalin (tuan para rasul), Imam Al Muttaqin (imam orang-orang yang
bertaqwa), Khatam An Nabiyyin (penutup para nabi), Muhammad hamba-Mu dan
rasul-Mu, Imam Al Khair (imam kebaikan), Qaid Al Khair (pemimpin
kebaikan) dan Rasul Ar Rahmah (utusan pembawa rahmat).’” (Riwayat Ibnu
Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mundziri)
Atsar serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Musnad, dengan sanad hasan pula.
Walhasil, menyebut Rasulullah dengan gelar “Sayyid” adalah perkara yang disyariatkan
Sumber: http://mutiarazuhud.wordpress.com