Marquee text
- Home
- Artikel
- Salafi-Wahabi
- About Syiah
- Apakah syiah itu ?
- Apa Madhab Ahlul Bait?
- Apa Ahlussunnah Waljamaah?
- Kapan lahirnya Aqidah Aswaja ?
- perbedaan Aswaja dgn Syiah ?
- Apa dan siapa Al-Bayyinat
- Rijalul Bayyinat
- Sahabat Nabi SAW
- Khalifah Abu Bakar R.A
- Ahlul Bait
- Imam Ali K.W.
- Fatimah Az-Zahra R.A
- Alawiyyin
- Asyura
- Mut'ah
- Himbauan dari Al-Bayyinat
- Al Firgoh An Najiah
- Fatawa Imam/ Ulama
- Email Al-Bayyinat
- Link-link situs islami
- Akidah Menurut Ajaran Nabi
- Alawiyyin
- Aswaja
- Download
- Audio
- About Me
29 May 2012
RIWAYAT ASSEGAF DI SUNGAI MESA, BANJARMASIN
RIWAYAT ASSEGAF DI SUNGAI MESA
Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin. Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis.
Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan dagangan dari perahu. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel.
Salah satu pendatang Hadramaut yang disebut-sebut pernah bermukim di wilayah ini adalah Habib Alwi bin Abdillah Assegaf (wafat pertengahan tahun 1800-an). Belakangan Habib Alwi (menurut versi lain Habib Alwi berfam Alaydrus, red) pindah bermukim ke Kampung Melayu, Martapura. Sang tokoh yang dikenal berpengaruh ini mendapat hadiah tanah di Karang Putih, Martapura (Jalan Menteri Empat) dari Sultan Adam (penguasa kraton Banjar periode 1825-1857). Tanah ini akhirnya sebagian difungsikan menjadi makam keluarga.
Habib Alwi dilaporkan melalui perjalanan panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan bermukim di Kampung Sungai Mesa. Tidak ada keterangan pula berapa lama beliau menjadi penduduk Sungai Mesa.
Pemukim dari golongan sayyid yang terhitung orang lama (tua) di Sungai Mesa adalah Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Ahmad diperkirakan lahir di paruh kedua pertengahan tahun 1800-an. Ahmad memiliki saudara bernama Umar, Muhdor dan Muhammad.
“Pekerjaan Habib Ahmad berdagang kayu ulin, juga membawa tajau, belanga berdagang dengan urang Dayak,” cerita Syarifah Nikmah, 70, buyutnya yang tinggal di rumah tua peninggalan sang leluhur di Sungai Mesa. “Sidin cangkal bacari (beliau rajin bekerja/mencari nafkah).”
Umar, saudara Ahmad, bahkan berniaga hingga Negeri Raffles. “Umar adalah pedagang besar,” kata Habib Abdurrahman bin Alwi, 74, sang buyut yang juga tinggal di kawasan Sungai Mesa.
Menurut Abdurrahman, yang datang pertama kali ke Banjar adalah orangtua Umar yakni Abdurrahman bin Thoha Assegaf.
“Abdurrahman berasal dari Seiwun, datang ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut,” ujarnya.
Kenang-kenangan perjalanan dagang Umar bin Abdurrahman bin Thoha Assegaf adalah batu nisan di makamnya (di pemakaman Turbah Sungai Jingah, Banjarmasin) yang diimpor dari Singapura. Putra Umar yang bernama Segaf, meneruskan tradisi dagang keluarganya bolak-balik Singapura-Pulau Pinang.
Putra Ahmad bin Abdurrahman yang bernama Muhammad berprofesi sebagai kapten kapal. Namun sejak peristiwa ia mampu menjalankan kapal yang mogok dengan kekuatan spiritual, Muhammad menjadi orang rumahan.
“Waktu hidup sidin hanya mambari banyu orang (mendoakan orang-orang yang datang berhajat). Rumah ini dulu penuh dengan orang-orang yang datang,” ujar Nikmah, sang cucu mengenang.
Keluarga Assegaf di Sungai Mesa mayoritas berasal dari rumpun marga Assegaf Assofi. Yang pertama kali menyandang marga ini adalah Umar bin Abdurrahman (almualim) bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf, keturunan generasi ke-26 Nabi Muhammad SAW.
Marga Assegaf merupakan leluhur induk dari banyak keluarga Alawiyin. Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah (generasi ke-22), adalah wali besar yang menurunkan 13 putra dan 7 putri. Dari putra-putra ini kelak lahir ulama-ulama besar bertaraf wali dengan kharisma dan memiliki spiritual power luar biasa, antara lain fam Alaydrus, Shahab/Shihab, AlQutban, AlMusawa, AlFakhir, Bin Syekh Abubakar, AlHamid, Bin Jindan, Bahsin dan Assofi Assegaf.
Manaqib Imam Abdullah Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir
al-Imam Ubadillah bin Ahmad al-Muhajir
Al-Imam Ubaidillah – Ahmad
Al-Muhajir – Isa Ar-Rumi – Muhammad An-Naqib – Ali Al-’Uraidhi – Ja’far
Ash-Shodiq – Muhammad Al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Fatimah Az-Zahro
– Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ubaidillah
bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far
Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau seorang
imam yang agung dan dermawan, alim dan berakhlak mulia, penuh dengan
sifat-sifat kebaikan dan kemuliaan.
Beliau juga seorang yang sangat
tawadhu (rendah diri). Karena begitu tawadhunya, beliau tidak menamakan dirinya
dengan nama Abdullah, akan tetapi di-tasghir1-kan menjadi Ubaidillah,
semata-mata untuk mengagungkan Allah dan berendah diri di hadapan-Nya.
Beliau adalah seorang yang
Allah memberikan keistimewaan sifat-sifat yang terpuji pada dirinya. Berkata
AS-Sayyid Ali bin Abubakar mengenai diri beliau,
Abdullah, orang yang menjaga
dirinya dalam agama, paling terkemuka dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya.
Datuk para keturunan mulia, sumber kedermawanan, dan lautan ilmu, itulah tuan
kami yang mulia.
Beliau mengambil ilmu dari
ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama di jamannya. Di
kota Makkah, beliau berguru kepada Asy-Syeikh Abu Thalib Al-Makky. Dibawah
asuhan gurunya, beliau berhasil menamatkan pelajaran dari kitab gurunya
tersebut yang berjudul Guut Al-Guluub.
Tampak pada diri beliau
berbagai macam karomah yang dikaruniakan kepada dirinya. Beliau, Al-Imam
Ubaidillah, jika meletakkan tangannya pada orang yang sakit, lalu beliau
meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka sembuhlah si sakit itu.
Mengenai kedermawanannya,
beliau jika menggiling kurma miliknya dan meletakkannya di tempat penggilingan,
maka kurma-kurma itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak.
Beliau mewarisi sifat-sifat
mulia dari ayahnya, baik itu di dalam kezuhudannya, ilmunya ataupun ibadahnya.
Setelah ayahnya wafat, beliau pindah ke daerah Saml, dan memberikan tanah
miliknya ke budaknya yang telah dimerdekakannya yang bernama Ja’far bin
Mukhaddam. Tinggallah beliau di kota Saml. Beliau menikah dengan wanita dari
daerah tersebut dan dilahirkannya salah seorang anaknya yang bernama Jadid.
Sampai akhirnya beliau menutup mata untuk terakhir kalinya di kota tersebut
pada tahun 383 H.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh
Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad
Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
Niat
NIAT
Dari Abu Hurairoh RA. Berkata : Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihukum oleh Allah pada hari kiamat, adalah seorang yang mati syahid. Maka didatangkan orang yang syahid itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan orang yang "Syahid" pun mengenali ni'matnya. Allah berkata :"Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? dia berkata : "aku berperang di jalanMu sehingga aku mati syahid" Allah berkata :"kamu telah bohong, akan tetapi kamu berperang supaya kamu dikatakan sebagai seorang pemberani. dan kamu telah disebut demikian. kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.Dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan seseorang yang membaca al-qur'an. Maka didatangkan orang itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan diapun mengenali ni'matnya, Allah berkata : "Apa yang kamu lakukan dengan nikmatmu itu?" orang itu berkata :"aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan aku membaca al-qur'an itu semua kulakukan demiMu, Allah berkata :"kamu telah bohong!, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar orang2 mengatakan bahwa kamu orang yang berilmu dan kamu membaca al-qur'an supaya orang-orang mengatakan bahwa kamu seorang "qaari" dan kamu telah disebut demikian". Kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.Yang ketiga, seseorang yang dilimpahi Allah harta yang banyak dan dia meng-infak-an semua hartanya itu, Maka didatangkan orang itu, dan Allah mengenalkan nikmatnya dan orang itu pun mengenali ni'matnya, Allah berkata : "Apa yang kamu lakukan dengan nikmatmu itu?" dia berkata :"Tidaklah aku meninggalkan satu jalan yang kamu cintai untuk mengnginfakan harta kecuali aku berinfak pada jalan itu hanya karenaMu. Allah berkata :" kamu telah bohong!, akan tetapi kamu melakukan itu supaya kamu dikatakan sebagai seorang dermawan, dan kamu telah disebut demikian. kemudian Allah memberikan perintah untuknya, maka ia diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke neraka.(HR. Muslim)
"Niat
saleh" adalah kecenderungan dan keinginan hati untuk berbuat baik. Suara
hati merupakan sumber dan penyebab pertama timbulnya niat. Niat adalah ruhnya
amal, seperti ruh bagi jasad, dan hujan bagi bumi. Barang siapa yang niat dan
tujuannya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia memiliki niat yang saleh. Karena
itulah beliau RA berkata, "carilah selalu niat-niat saleh".
Niat ada yang
saleh dan ada yang buruk. Dalam suatu amal kadang kala dapat diperoleh niat
yang banyak. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung
pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan sesuai
dengan niatnya."
Niat yang baik
akan membuahkan amal yang baik,sedangkan niat yang buruk akan mengakibatkan
amal yang buruk.
Allah berfirman:
"Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah
dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya."
(QS Al-Bayyinah, 98:5) Yakni, dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Niat juga merupakan salah satu sebab untuk memperoleh taufik: Jika kedua juru pendamai itu berniat mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (untuk berdamai).
(QS An-Nisa, 4:35)
(QS Al-Bayyinah, 98:5) Yakni, dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Niat juga merupakan salah satu sebab untuk memperoleh taufik: Jika kedua juru pendamai itu berniat mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (untuk berdamai).
(QS An-Nisa, 4:35)
Nabi SAW bersabda,
"Barang siapa berniat melakukan kebajikan, namun ia tidak mengamalkannya,
Allah akan mencatatkan kebajikan baginya."
Dan sabdanya lagi:
"Mereka kelak dikumpulkan berdasarkan niat mereka."
Imam At-Tsauri
berkata, "Dahulu mereka mempelajari niat untuk beramal sebagaimana mereka
mempelajari amal."
Dan diriwayatkan
dalam kitab Taurat bahwa Allah Ta'ala berfirman, "Segala sesuatu yang
diniatkan untuk-Ku, maka sedikitnya adalah banyak, dan segala sesuatu yang
ditujukan kepada selain Aku, maka banyaknya adalah sedikit."
Bilal bin Sa'ad
berkata, "Sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan ucapan seorang
mukmin, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan amalnya, jika
ia mengamalkannya, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan
niatnya, jika niatnya baik, Allah akan memperbaiki kelemahan amalnya."
Niat adalah tiangnya amal, oleh karena itu amal
sangat membutuhkan niat. Nabi SAW bersabda: "Niat seorang mukmin lebih
baik dari pada amalnya." Hati adalah pengawas yang ditaati dan niat adalah
amal hati. Amal tanpa niat yang saleh, tidak akan bermanfaat, dan amal dengan
niat yang buruk, akan mencelakakan.
Banyaknya niat
tergantung pada banyaknya usaha untuk berbuat kebaikan, keluasan ilmu dan
ketekunan dalam menghimpun berbagai niat yang baik. Dan banyaknya niat ini dapat menyucikan dan
melipat-gandakan amal. Namun maksiat akan tetap maksiat, karena niat baik tidak
akan dapat merubahnya.
Berbagai amal yang mubah, dengan niat yang benar
dari seorang yang sidq, dapat menjadi sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah.
Mereka yang selalu disibukkan dengan urusan keduniaan, niat-niat saleh tersebut
tidak akan terlintas dalam benak mereka. Jika mereka mengaku memiliki suatu
niat baik, ketahuilah, sesungguhnya itu hanyalah bisikan hati, bukan niat.
Saat melaksanakan atau meninggalkan suatu amal
harus disertai dengan niat yang baik, karena meninggalkan suatu amal adalah amal
juga. Oleh
karena itu, jangan sampai hawa nafsu yang tersembunyi menjadi penggerak suatu amal.
karena itu, jangan sampai hawa nafsu yang tersembunyi menjadi penggerak suatu amal.
Karena alasan inilah beberapa sufi urung
melaksanakan suatu ketaatan, karena gagal menetapkan niat yang baik.
Niat adalah fath dari Allah yang pada dasarnya
tidak bisa diusahakan. Niat yang baik ini oleh Allah Ta'ala dianugerahkan
kepada orang-orang yang berhati suci, memiliki ilmu yang luas dan selalu
disibukkan dengan ajaran Allah.
Marilah kita senantiasa
menjaga serta senantiasa memperbaharui niat atas segala amalan yang kita
lakukan.
Niatkanlah segala amalan kita ini hanya karena Allah, ikhlaskanlah segala amalan kita agar kita mendapat keridhaanya.
Niatkanlah segala amalan kita ini hanya karena Allah, ikhlaskanlah segala amalan kita agar kita mendapat keridhaanya.
Habib Noval bin Muhammad Alaydrus melindungi umat dari virus Wahabi
Lama tidak terdengar, muballigh,
penerjemah, sekaligus penulis produktif, Habib Noval bin Muhammad
Alaydrus, Solo, muncul dengan gebrakan baru. Berdakwah di komunitas
bawah yang awam pemahaman agamanya.f
Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di Indonesia, wa bil khusus di Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim sementara orang sebagai aksi jihad.
Menurutnya, tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah umat.
Karena Hidayah Allah
Seolah mendapat ilham dari Allah SWT, mulai saat ini hingga beberapa waktu ke depan, ia akan lebih gencar membendung paham Wahabi, sebuah paham yang kerap menjadi embrio dalam pemahaman kelompok-kelompok umat yang ekstrem. Bukan dengan cara membumihanguskan paham tersebut, melainkan membentengi aqidah umat dari berbagai aliran yang menyimpang dari doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Sebab, menurutnya, Wahabi itu sesungguhnya kecil, umatlah yang membesarkannya dengan menjadi pengikutnya.
Masih menurut Habib Noval, umat Islam yang berpaham Wahabi itu tidak akan bisa berubah dengan berbagai mau’izhah dan dialog. Mereka hanya akan berubah dengan hidayah Allah. Dialog, sehebat apa pun dan segencar apa pun, tidak efektif bila hidayah Allah belum bermain. Masalahnya, keduanya, baik Ahlussunnah maupun Wahabi, sama-sama menggunakan dalil dan hadits yang hampir sama, hanya pemahamannya yang berbeda. “Seribu ulama Wahabi dan seribu ulama Ahlusunnah, bila beradu ilmu, masing-masing tidak akan menemukan titik temu. Umumnya, seseorang yang keluar dari Wahabi bukan karena ilmu, namun hidayah dari Allah SWT,” kata habib berusia 36 tahun ini.
Ada salah satu kisah menarik di Jawa Timur. Seorang pemuda Wahabi meyakini bahwa pahala mengirim hadiah surah Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak sampai kepadanya, dan dia berdebat habis-habisan dengan koleganya yang seorang Ahlusunnah wal Jama’ah.
Tiba-tiba datang salah seorang habib, dan diadukanlah perkara tersebut.
Menariknya, dengan ringan sang habib hanya menjawab, “Insya Allah sampai, buktikan saja sendiri.”
Malam harinya, pemuda Wahabi tersebut merasa penasaran dan ia pun ingin membuktikan saran sang habib, mengirim hadiah surah Al-Fatihah khusus untuk ayahnya, yang telah lama menghadap-Nya.
Ketika tidur di malam itu juga, ia bermimpi bertemu sang ayah. Bahkan dalam mimpinya itu ayahnya berkata, “Kenapa tidak dari dahulu kamu mengirimkan hadiah ini untuk ayah, Nak?”
Kontan saja ketika terbangun di pagi harinya ia merasa begitu trenyuh. Bahkan ia menjadi mempercayai mimpinya tersebut.
Tidak lama kemudian, ia mengisahkan mimpinya itu kepada teman debatnya. Sejak saat itu, ia pun menyakini dan selalu mengatakan kepada khalayak bahwa hadiah Al-Fatihah untuk orang yang telah meninggal itu sampai.
Artinya, perpindahan aqidah itu bukan karena ilmu, melainkan hidayah dari Allah SWT. Mungkin, seseorang yang baru mulai memasuki ajaran Wahabi masih bisa dipengaruhi dan diberi pemahaman untuk kembali. Tapi bagi yang sudah menjadi Wahabi sangat sulit. Menurut Habib Noval, mengutip perkataan Habib Ali Al-Habsyi, orang yang telah terkena penyakit Wahabi, susah sembuhnya.
Tegas sedari Awal
Sepertinya, sungguh tepat bila suami Syarifah Fathimah Qonita binti Ali Al-Habsyi, yang masih terhitung cucu Habib Anis Al-Habsyi, ini memutuskan untuk terjun ke lingkungan bawah yang selama ini awam wawasan keberagamaannya. Bukankah mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati?
Sebetulnya dakwah membendung paham Wahabi telah dilakukannya sejak beberapa tahun silam, semasa Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, guru sekaligus kakek mertuanya, masih hidup. Habib Noval merasa beruntung belajar langsung dengan habib kharismatis itu.
Sejak kecil, sepulang sekolah, mulai dari SD hingga SMA, ia, yang kini telah dianugerahi dua orang anak, selalu aktif di berbagai kegiatan di Masjid Ar-Riyadh, Solo. Yakni shalat berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, membacaan ratib, sampai mengikuti pengajian umum secara rutin, mulai dari tema sejarah nabi atau hadits, nahwu dan fiqih, tasawuf, hingga tafsir Al-Qur’an.
Pengembaraan pencarian ilmunya pernah mengantarkannya hingga nyantri di Pondok Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Pasuruan, Jawa Timur, yang kala itu diasuh oleh almarhum Ustadz Hasan Baharun. Namun, sang bunda tampak berat berpisah, ia pun akhirnya hanya sempat belajar di sana selama satu semester plus masa percobaan satu bulan. Jadi kurang lebih selama tujuh bulan.
Meski begitu, waktu yang sangat singkat ini dirasakannya sangat berarti. Sebab hanya dalam kurun waktu tujuh bulan, ia telah dapat berbahasa Arab relatif baik. Ini memang menjadi motivasinya. Pasalnya, ia selalu teringat dengan pesan sang kakek, almarhum Habib Ahmad bin Abdurrahman Alaydrus, bahwa, “Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, kamu telah menguasai setengah ilmu.”
Setelah mendapat restu sang guru, Ustadz Hasan, di tahun 1995, Habib Noval kembali ke kampung halamannya. Sambil terus belajar kepada Habib Anis dan beberapa habib dan kiai lainnya, ia juga mulai berdakwah.
Masa-masa awal itu ia tidak terjun langsung membina umat yang rentan menjadi basis sasaran Wahabi, namun tetap menyuarakan bahayanya aliran Wahabi dan Syi’ah. “Saya sudah berani tegas sejak pertama kali berdakwah. Masa itu Habib Anis masih ada. Dalam khutbah Jum’at misalnya, saya sangat tegas menentang Syi’ah dan Wahabi, namun bahasannya tetap santun dan ilmiah. Dikenal galak, karena berani menyuarakan yang hak dan bathil,” tutur Habib Noval.
Bila dipersentasekan, keberadaan kalangan awam itu jumlahnya sangat besar. Selama ini mereka kebanyakan beragama hanya ikut-ikutan. Namun mereka amat mendambakan kebaikan, sehingga mereka pun taat mengikuti berbagai ritus ibadah. Tidak hanya yang yang wajib, namun juga yang sunnah, seperti shalawatan, tahlilan, Maulidan, dan sebagainnya. Pada gilirannya, sikap taqlid mereka itu disalahgunakan oleh sekelompok tertentu untuk menebar ajakan agar meninggalkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.
Strategi para penebar ajaran itu semakin agresif. Mereka begitu keras menuduh pengamal ritus tersebut sebagai perilaku bid’ah dan sesat, dan para pelakunya kelak akan berada di neraka. Tuduhan itu dilontarkan langsung di hadapan umat. Bukan lagi hanya melalui buku-buku. Terkadang, mereka juga menyebarkannya lewat SMS. Segala cara ini mudah saja mereka lakukan, mengingat dukungan dana yang begitu besar.
Meluruskan Stigma Negatif Bid’ah
Mengenai bid’ah, kata Habib Noval, bid’ah itu sendiri terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Sayangnya selama ini kata bid’ah sudah begitu melekat dengan stigma negatif, yang setiap pelakunya itu ahli neraka. Mereka berhasil menempatkan kata bid’ah sebagi sesuatu yang buruk. “Maka saya harus berjuang merebut kembali istilah bid’ah agar tidak dikonotasikan negatif,” kata Habib Noval semangat.
Menurutnya, Syaikh Alwi Al-Maliki, yang berada di Arab Saudi, sarang Wahabi, saja tidak berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik lisan ketika berdakwah maupun tulisan dalam berbagai kitab dan bukunya. Apalagi muslim Sunni Indonesia, yang mayoritas. “Saya terpanggil, mulai saat ini harus lebih fokus memberantas paham Wahabi, terutama di Solo,” katanya kembali menegaskan.
Menyusul kesuksesan buku terdahulunya, Mana Dalilnya, yang juga ditujukan untuk menolak paham Wahabi, baru-baru ini Habib Noval meluncurkan buku terbarunya berjudul Ahlul Bid’ah Hasanah.
Sekilas buku ini memiliki kemiripan dengan buku sebelumnya. Namun menurut Habib Noval, buku ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Sesuai namanya, isi buku yang dibandrol seharga empat puluh lima ribu rupiah ini mengupas dalil dan sumber berbagai amaliah Ahlusunnah wal Jama’ah yang selama ini diklaim sebagai bid’ah dan sesat, serta mencantumkan pendapat para ulama yang kuat. Lebih praktis dan tegas. “Pada buku Mana Dalilnya, saya menggunakan kerangka berpikir Wahabi. Sementara buku ini kerangka berpikirnya tengah-tengah: Wahabi dan kaum santri,” katanya.
Aqidah umat mesti diperkuat, agar tidak mudah goyah. Salah satunya dengan membaca buku Ahlul Bid’ah Hasanah.
Tampaknya, buku ini akan kembali mendulang sukses seperti buku-buku karya Habib Noval sebelumnya.
Saat ini, bila ada yang mempengaruhi dan menuduh dengan berbagai label negatif terkait dengan Ya-Sinan, tahlilan, shalawatan, misalnya, umat tidak hanya diam, apalagi terpengaruh, mereka mulai berani membantah, dengan mengutarakan dalil-dalil yang kerap disampaikan Habib Noval, atau minimal tidak terpengaruh.
Semangat habib muda ini dalam membentengi aqidah umat begitu tinggi. Untuk mendukung dakwahnya, kini Habib Noval juga merambah bisnis kaus oblong dengan berbagai gambar dan kata-kata ciri khas Ahlusunnah wal Jama’ah yang menggugah. Ini diproduksinya sendiri menggunakan label “Abah”, singkatan “Ahlul Bid’ah Hasanah”.
“Pada produksi kaus, saya menggunakan kata-kata yang menyentuh tapi tidak provokatif, seperti ziarah kubur, Ya-Sinan, tahlilan, Maulidan, kemudian diarahkan dengan menggunakan tanda panah ke kata surga. Kemudian, kalimat Lebih baik gila dzikir daripada waras namun tidak dzikir,” kata Habib Noval.
Respons masyarakat cukup besar. Produksi pertama pada Ramadhan lalu, sebanyak 750 telah habis diserbu konsumen. Saat ini produksi kedua mencetak 1.500 kaus dengan dua varian, lengan panjang dan pendek. Warnanya beragam, mulai dari putih, biru, merah, hingga hitam.
http://www.majalah-alkisah.com
Membangun Dengan Cinta
Diceritakan
bahwa pada suatu ketika Al-Imam Muhammad Al-Baqir mendengar berita
tentang perzinaan. Seketika itu juga wajah beliau berubah menjadi pucat
dan bibir bergetar yang disertai titikan air mata. Lalu perlahan beliau
berkata :"mereka adalah umat nabi Muhammad SAW".
Padahal beliau tidaklah mengenal orang yang telah berzina itu akan tetapi yang beliau sadari adalah bahwa yang terjatuh dalam zina tersebut adalah umat Nabi Muhammad SAW. Maka beliau pun menyesal dan menangisi hal itu. Apa yang telah dilakukan oleh Al-Imam Muhammad Al-Baqir adalah penerapan dari makna Hadits Nabi SAW "tidak sempurna iman seseorang dari kamu sehingga enggkau mencintai saudaramu seperti mencintai untuk dirimu sendiri".
Jika kita melihat kesalahan itu terjadi pada saudara kita hendaklah kita melihat mereka dengan mata kasih dan disertai dengan do'a-do'a demi kebaikanya. Sebab jika bukan karena perlindungan Allah pada kita maka kesalahan itupun bisa saja terjadi pada diri kita.
Akan tetapi disaat kita melihat seseorang terjerumus dalam kemaksiatan justru kesombongan kitalah yang muncul. Lalu terlalu cepat kita menilai mereka dengan mata picik dan merendahkannya. Hal ini dikarenakan pandangan kita yang picik memandang bahwa kita lebih baik daripada orang lain. Dan banyak dari kita tidak menyadari hal bahwa hal itu adalah merupakan sebuah kesombongan tersembunyi.
Sungguh makna ketulusan akan menghantarkan seseorang untuk semakin baik kepada sesama, merindukan yang lainya agar mendapatkan kebaikan seperti yang telah ia peroleh.
Artinya ada kemulyaan dan kehinaan yang tersembunyi di balik cara pandang kita. Dan akan sangatlah berbeda cara pandang orang yang senantiasa merindukan orang lain agar senantiasa dekat kepada Allah SWT dengan pandangan orang yang meredahkan orang lain dan hanya melihat dirinyalah orang yang paling mulia dan benar.
Sebagai contoh, ketika kita melihat saudara kita mabuk-mabukan. Apa kira-kira yang ada di hati kita saat itu? Akankah hati kita terenyuh, menangis kemudian memohon kepada Allah agar mengangkat saudara kita dari kehinaan dan mengampuni dosa-dosanya. Atau justru malah sebaliknya, kita melihat mereka dengan mata picik, meremehkan dan menghinakan mereka. Itu adalah dua cara pandang yang berbeda yang bersumber dari hati yang berbeda. Yang membedakan adalah "cinta" dan "kesombongan".
Menata hati agar senantiasa sadar akan kekurangan dirinya akan meredam luapan semangat untuk memperhatikan cela orang lain dengan mata meremehkan. Dan hal itu akan menjadikan dirinya amat berhati-hati dalam melihat cela orang lain. Sebab semua kesalahan yang terjadi pada orang lain bisa saja terjadi pada dirinya sendiri.
Yang ada adalah melihat kesalahan yang dilakukan orang lain dengan kecemburuan kasih, penyesalan yang dalam dan cinta serta rindu untuk membawanya kepada kesadaran dan taubat. Lebih dari itu kesadaran makna ini akan menghantarkan seseorang "jauh dari menggunjing" orang lain. Dan sungguh tidak ada gunjingan di suarakan kecuali disaat hilangnya rasa kasih dan cinta. Dan kesadaran inilah titik yang sering terlupakan untuk membangun sebuah bangsa dan negara.
Begitu sebaliknya, hati yang dipenuhi sampah kesombongan akan selalu membuka mata seseorang agar senantiasa melihat cela orang lain dengan merendahkannya dan lupa akan kekurangan dirinya sendiri. Alangkah mudahnya menggunjing orang lain bagi orang yang seperti ini.
Bersama itu juga, akan hilang rasa kasih-sayang dan saling mencitai sebagai pertanda dari sebuah makna keimanan. Disinilah awal bencana. Selanjutnya akan sangat mudah terjadi kedholiman, kerakusan dan ketidak pedulian kepada sesama. Dan disaat itu, amatlah sulit dibangun suatu masyarakat , bangsa dan negeri yang aman, tentram dan damai.
Wallahu a'lam bishshowab.
Padahal beliau tidaklah mengenal orang yang telah berzina itu akan tetapi yang beliau sadari adalah bahwa yang terjatuh dalam zina tersebut adalah umat Nabi Muhammad SAW. Maka beliau pun menyesal dan menangisi hal itu. Apa yang telah dilakukan oleh Al-Imam Muhammad Al-Baqir adalah penerapan dari makna Hadits Nabi SAW "tidak sempurna iman seseorang dari kamu sehingga enggkau mencintai saudaramu seperti mencintai untuk dirimu sendiri".
Jika kita melihat kesalahan itu terjadi pada saudara kita hendaklah kita melihat mereka dengan mata kasih dan disertai dengan do'a-do'a demi kebaikanya. Sebab jika bukan karena perlindungan Allah pada kita maka kesalahan itupun bisa saja terjadi pada diri kita.
Akan tetapi disaat kita melihat seseorang terjerumus dalam kemaksiatan justru kesombongan kitalah yang muncul. Lalu terlalu cepat kita menilai mereka dengan mata picik dan merendahkannya. Hal ini dikarenakan pandangan kita yang picik memandang bahwa kita lebih baik daripada orang lain. Dan banyak dari kita tidak menyadari hal bahwa hal itu adalah merupakan sebuah kesombongan tersembunyi.
Sungguh makna ketulusan akan menghantarkan seseorang untuk semakin baik kepada sesama, merindukan yang lainya agar mendapatkan kebaikan seperti yang telah ia peroleh.
Artinya ada kemulyaan dan kehinaan yang tersembunyi di balik cara pandang kita. Dan akan sangatlah berbeda cara pandang orang yang senantiasa merindukan orang lain agar senantiasa dekat kepada Allah SWT dengan pandangan orang yang meredahkan orang lain dan hanya melihat dirinyalah orang yang paling mulia dan benar.
Sebagai contoh, ketika kita melihat saudara kita mabuk-mabukan. Apa kira-kira yang ada di hati kita saat itu? Akankah hati kita terenyuh, menangis kemudian memohon kepada Allah agar mengangkat saudara kita dari kehinaan dan mengampuni dosa-dosanya. Atau justru malah sebaliknya, kita melihat mereka dengan mata picik, meremehkan dan menghinakan mereka. Itu adalah dua cara pandang yang berbeda yang bersumber dari hati yang berbeda. Yang membedakan adalah "cinta" dan "kesombongan".
Menata hati agar senantiasa sadar akan kekurangan dirinya akan meredam luapan semangat untuk memperhatikan cela orang lain dengan mata meremehkan. Dan hal itu akan menjadikan dirinya amat berhati-hati dalam melihat cela orang lain. Sebab semua kesalahan yang terjadi pada orang lain bisa saja terjadi pada dirinya sendiri.
Yang ada adalah melihat kesalahan yang dilakukan orang lain dengan kecemburuan kasih, penyesalan yang dalam dan cinta serta rindu untuk membawanya kepada kesadaran dan taubat. Lebih dari itu kesadaran makna ini akan menghantarkan seseorang "jauh dari menggunjing" orang lain. Dan sungguh tidak ada gunjingan di suarakan kecuali disaat hilangnya rasa kasih dan cinta. Dan kesadaran inilah titik yang sering terlupakan untuk membangun sebuah bangsa dan negara.
Begitu sebaliknya, hati yang dipenuhi sampah kesombongan akan selalu membuka mata seseorang agar senantiasa melihat cela orang lain dengan merendahkannya dan lupa akan kekurangan dirinya sendiri. Alangkah mudahnya menggunjing orang lain bagi orang yang seperti ini.
Bersama itu juga, akan hilang rasa kasih-sayang dan saling mencitai sebagai pertanda dari sebuah makna keimanan. Disinilah awal bencana. Selanjutnya akan sangat mudah terjadi kedholiman, kerakusan dan ketidak pedulian kepada sesama. Dan disaat itu, amatlah sulit dibangun suatu masyarakat , bangsa dan negeri yang aman, tentram dan damai.
Wallahu a'lam bishshowab.
www.buyayahya.org
Manaqib Imam Ahmad Al-Muhajir
Imam Ahmad Al-Muhajir
[Al-Imam Ahmad Al-Muhajir - Isa
Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad
Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin
Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus
bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di
dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga
seorang yang sangat dermawan dan pemurah.
Beliau berasal dari negara
Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam
ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah
cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan
akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.
Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, “Bersegeralah kalian lari kepada Allah…”
Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid’ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.
Karena sebab-sebab itu, Al-Imam
Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah
beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk
di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan
anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba’alawy), Bashri (kakek keluarga
Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang
sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk
juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau,
serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut
diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah
termasuk keturunan dari paman-paman beliau).
Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.
Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, “Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba’alawy, maka tidak ada kebaikan padanya.” Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba’alawy, sambil berkata, “Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta.”
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
Ahlussunnah dalam teologi Islam bagian 2
AHLUSSUNNAH DALAM TEOLOGI ISLAM 2
lanjutan:
lanjutan:
Mungkin inilah
yang menimbulkan term ahli Sunah dan Jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagi lawan bagi golongan
Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah
dalam term ini berarti hadis. Sebagaimana diterangkan Ahmad Amin, Ahli
Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, percaya pada dan
menerima hadis-hadis Sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah
berrati mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al Syari’ah al
Mahbubi yaitu ‘ammah al Muslimin (umumnya Ummat Islam) dan al
Jama’ah al katsir wa al sawad al a’dzam (jumlah besar dan khalayak
ramai).
Term ini
kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran-aliran al Asy’ari dan
al Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam
hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan : “ ……. Dan aliran Ahli Sunnah dan
Jama’ah muncul (dzahara) atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al Asy’ari
disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut
Mu’tazilah selama 40 Tahun.” Dengan kata lain Al Asy’ari keluar dari golongan
Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran
Asy’ari kata-kata Sunnah dan Jama’ah telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan
Arab. Umpamanya di dalam surat al Ma’mun kepada Gubernurnya Ishaq Ibnu Ibrahim
yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al Asy’ari lahir, tercantum
kata-kata wa nasabu anfusahum ila al sunnah (mereka mempertalikan
diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al Haq wa al din wa al
Jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Bagimanapun,
yang dimaksud dengan Ahli sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan Teologi
Islam adalah Kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. *(5
Istilah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
a.
Ahl (ahlun), berarti golongan atau pengikut.
b.
Al Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup
ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
c.
Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
d.
Al Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw.
Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis,
istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang senantiasa
mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para sahabatnya. Atau
golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan sunnah para sahabat,
lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar bin
Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Selanjutnya
jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain adalah ekspresi nyata dari kandungan al
Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya disitilahkan dengan al Sunnah
atau al Hadis. Kemudian Al Qur’an sebagai kalamullah, terkemas sendiri dalam
mushaf Al Qur’an Al karim. Sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasulullah SAW
pun terkemas secara terpisah dalam kitab-kitab hadis, seperti sahih Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al turmudzi, Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu
Majah, serta kitab hadis-hadis lainnya yang disusun oleh para ulama lainnya.
Di samping itu
para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi pertama dan utama dalam
melazimi perilaku Rasulullah SAW, sehingga jalan hidup mereka praktis merupakan
penjabaran ynata dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Setiap langkah
hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang terkandung dan
terkehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan control langsung
dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jalan hidup mereka relatif
terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga jalan hidup
mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah jalan hidup Rasulullah
Saw. Sendiri. Dalam hadis diterangkan :
حَدَّثَنِي
إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ
سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ
أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ
وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ
السِّمَنُ
Artinya :”Telah
bercerita kepadaku Ishaq telah bercerita kepada kami an-Nadlar telah
mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Abu Jamrah, aku mendengar Zahdam bin
Mudlarrib, aku mendengar 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik ummatku
adalah yang orang-orang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang
yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah
mereka". 'Imran berkata; "Aku tidak tahu apakah setelah menyebut
generasi beliau, beliau menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi
setelahnya.""Kemudian akan datang setelah kalian suatu kaum yang
mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi dan mereka suka berkhiyanat
(sehingga) tidak dipercaya, mereka memberi peringatan padahal tidak diminta
memberi fatwa dan nampak dari ciri mereka berbadan gemuk-gemuk".
(HR. Bukhari)
Ada dua
pendapat mengenai hadis tersebut. Pertama, periode seratus. Pertama dari
masa hidup Nabi SAW (abad 1 H). kemudian seratus tahun kedua (abad II H) dan
disusul seratus tahun berikutnya lagi (abad III). Hal ini didasarkan pada
pengertian qarnun, yaitu abad atau hitungan 100 tahun. Kedua,
ada yang berpendapat bahwa qarnun tidak diartikan dengan perhitungan 100
tahun, tetapi yang dimaksud adalah suatu situasi yang mana ajaran-ajaran Islam
secara affah, integral dan komprehensif dia amalkan oleh pemeluk-pemeluknya dan
belum timbul adanya firqoh-firqoh. Hal ini terjadi hanya pada masa hidup Nabi
SAW, masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq Ra., dan Umar Bin Khatab. Pasca masa
tersebut mulai timbul adanya konfik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan
paham keagamaan, yaitu masa akhir khalifah Utsman bin ‘Affan dan seterusnya.
Sejalan dengan
pemikiran yang demikian itu , maka tepatlah definsi Ahlus Sunnah Wal jama’ah
yang dikemukakan oleh Abu al Fadl bin al syekh ‘Abd al Syakur al Sanuri dalam
kitabnya “ Al kawakib al lamma’ah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah wa
al Jama’ah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed)
mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya, baik
dalam lingkup akidah, ibadah maupun dalam lingkup akhlak.
Adapun wujud
konkritnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak lain ialah golongan yang
senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Artinya
dalam segala hal selalu merujuk kepada petunjuk Al Qur’an dan al Sunnah.
Selanjutnya diterangkan :
“tatkala itu
telah terjadi penamaan Ahlussunah wal Jama’ah bagi orang-orang memegangi
sunnah Nabi SAW dan thariqah (cara hidup) para sahabat dalam akidah agama, amal
perbuatan badaniyah dan akhlak hati.”
Menurut
Muhammad Khalifah al Tamimi dalam “Mu’taqad Ahl as Sunnah wal Jama’ah Fi
Tauhid al Asma Wa al Shifat, 1999” : “Pengertian tentang Ahlus
Sunnah ; kadang-kadang para ulama menggunakan nama Ahlus Sunnah Wal
jama’ah, sebagai pengganti dari nama salaf. Maka Ahlus Sunnah Wal
jama’ah adalah para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan siapa saja yang
berjalan menurut pendirian Imam-Imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya. Maka menyimpang dari pengertian ini
semuanya dipandang sebagai kelompok ahli bid’ah dan orang-orang yang
memperturutkan hawa nafsu. Diterangkan oleh Ibnu Abbas ra. Dalam menafsirkan
firman Allah Ta’ala (surat Ali Imran, ayat 106) :
يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya : “
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS. Ali Imran :106 )
Dikatakan wajah
yang putih berseri adalah orang-orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan wajah
yang hitam muram adalah adalah wajah orang-orang ahli bid’ah dan perpecahan.
Dengan kata
lain, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang senantiasa mengikuti
jejak hidup Rasulullah SAW, dan jejak para sahabat terutama jejak Khulafa al
Rasyidin, dengan senantiasa berpegangteguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah.
Mengenai
batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di atas, para ulama merujuk
kepada beberpa dalil naqli, terutama yang termaktub dalam beberapa hadis. Di
antaranya :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin
Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yahudi terpecah menjadi tujuh
puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh
satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan." (HR. Abu Daud, At turmudzi, An Nasa’I dan Ibnu
Majah)
Hadis ini,
tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang disebut “ Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, “ tetapi baru diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah
Saw. Menjadi 73 Golongan (firqah). Maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berarti
salah satu dari 73 golongan tersebut.
Hadis lain,
yakni yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibnu Umar Ra., bahwasanya Nabi
saw. Bersabada :
…….وَإِنَّ بَنِي
إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
مُفَسَّرٌ لَا نَعْرِفُهُ مِثْلَ هَذَا إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
“…………sesungguhnya
bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka
kecuali satu golongan, " para sahabat bertanya, "Siapakah mereka
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang
mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya". Abu Isa berkata;
'Hadits ini hasan gharib mufassar, kami tidak mengetahuinya seperti ini kecuali
dari jalur sanad seperti ini.”'(HR. Turmudzi)
Meskipun belum
secara tegas terungkap istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, namun maknanya
yang tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari ancaman api
neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (jalan hidup)
Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya. Makna yang demikian inilah yang kita
maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan
demikian, maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah satu-satunya
golongan umat Islam yang selamat dari ancaman neraka, hal ini lebih tegas lagi
diungkapkan dalam hadis lain yang Artinya :
“(Rasulullah
Saw. bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad,sungguh umatku
bakal terpecah menjadi 73 golongan.Maka yang satu golongan masuk
surga,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang sahabat bertanya:
Siapakah golongan yang masuk surga itu ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan
Ahlus Sunnah Wal jama’ah”. (HR.Al-Tabrani)
Hadis tersebut
secara langsung menyebutkan kata”Ahlus Sunnah Wal Jammaah” sebagai satu-satunya
golongan yang dinyatakan bakal selamat bisa masuk surga.
Berdasarkan
ketiga hadis tersebut, jelaslah bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak
golongan sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di antara 73 golongan itu,
terdapat satu golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang
senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah saw. Dan jejak hidup sahabatnya.
Dan golongan yang selamat (masuk sorga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah.
Dengan
demikian, maka sejalan dengan batasan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan
Ahlussunah Wal jama’ah ialh golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup
Rasulullah Saw. dan jalan hidup para sahabat, tentunya dengan berpegang teguh
kepada Al Qur’an dan al Sunnah. Golongan yang demikian inilah yang diisyaratkan
oleh Rasulullah Saw. akan masuk surga.
Jumlah para
sahabat Rasul, tentulah cukup banyak, ketika Nabi Saw. melakukan haji Wada’
menurut suatu riwayat adalah bersama 114.000 sahabatnya. Ini belum terhitung
mereka yang tidak ikut berangkat menunaikan haji karena keadaan, mereka yang
telah meninggal dunia sebelumnya, baik sebagai syuhada’ maupun meninggal dunia
karena sakit atau lainnya. Selama perilakunya tetap berpegang teguh kepada Al
Qur’an dan al Sunnah meskipun Rasulullah saw. telah wafat, maka semua perilaku
mereka itu akan diikuti oleh kaum muslimin yang berfaham Ahlus Sunnah
Waljama’ah. Namun, mengingat banyaknya jumlah mereka dan tidak mudahnya
mengidentifikasi perilaku satu persatu dari mereka, maka yang menjadi rujukan
utama ialah sahabat empat yang dikenal sebagai al Khulafa’ Al Rasyidin (para
khalifah yang terpercaya), yakni sahabat : Abu Bakar Siddiq Ra., Umar Ibnu
Khatab Ra., Utsman Bin Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Karramallahuwajhah.
Bahkan hanya
keempat sahabat itulah yang disifati oleh Rasulullah Saw. sebagai al Mahdiyyin
(sahabat utama yang mendapat petunjuk) serta diperintahkan supaya diikuti
perilakunya, sebagaimana diungkapkan dalam hadis yang berbunyi :
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ
بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا أَتَيْنَا
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ {
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ
وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا
فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada
kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin
Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata;
telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr
keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah
termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: “(dan tiada (pula dosa) atas
orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang
membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan
berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu
yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke
arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata
menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau
washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang
memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang
yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah
kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat
petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap
perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat." (HR. Abu
Daud ).
Perlu
dipelajari perkembangan sejarah Ahli Sunnah Wal Jamaah mulai dari awalnya
tatkala ia masih bersifat substansial hingga melembaga menjadi sebuah
paham.Kongkretnya, mulai dari periode rosul,sahabaat, tabiin,imam mazhab
empat,imam Al-Ghazali dan Al-Junaidi.Sehingga substansi dan institusi paham
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu akan dapat dipahami lebih jauh dan lebih luas.
Apabila di
telusuri dari masa khlifah Abu Bkar ra. Sampai masa khalifah Ali bin Abi Thalib
kw. (11-40 H/632-661 M), umat Islam tidak luput dari nuansa perbedaan faham.
Namun paham-paham yang muncul dan sampai keluar dari khittah Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah (Al Qur’an dan Hadis) pada dasarnya tidak sebanding dengan jumlah
mereka yang masih berada dalam Khitahnya.
Samapi disini
batasan subsatansial paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih diikuti oleh
golongan terbanyak. Golongan mayoritas ini memang belum disebut sebagai
golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Para ulama menyebutnya dengan istilah
yang berbeda-beda, antara lain :
a.
Jumhur al Ummah al islamiyyah (mayoritas Umat Islam).
b.
Jamaiyyah (umat terbesar)
c.
Al Sawad al A’dzam (kelompok Besar)
d.
Al salaf Al Salih (para pendahulu yang saleh-saleh)
e.
Ahl al Haq (golongan yang hak/benar)
f.
Ahl Al Hadis
Perkembangan
selanjutnya, nama-nama tersebut masih banya dipergunakan untuk menyebutkan
golongan terbanyak yang tetap berpegang teguh kepada petunjuk naqli (Al Qur’an
dan As Sunnah), bahkan pada gilirannya, nama-nama itu sering dipergunakan
sebagai nama lain dari Ahlus Sunnah Wal jama’ah.
Paham Ahlus
Sunnah Wal jama’ah, adlah paham Islam yang secara menyeluruh. Para ulama tidak
ada yang berbeda pendapat tentang Islam dalam lingkup makro yang meliputi
lngkup-lingkup aqidah, ibadah (fiqih), dan akhlak (tasawuf). Maka dengan
mengacu batasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah secara formal di atas, ruang
lingkup paham Ahlussunnah Wal jama’ah meliputi tiga lingkup
aqidah, ibadah dan akhlak. Dan dalam makna yang mikro, ia hanya meliputi
lingkup akidah saja.
Untuk
membedakan lingkup-lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tersebut dengan
lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan menyebutkan masing-masingnya
menjadi Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ibadah (fiqh) Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah dan Akhlak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Substansi paham
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat
(utamanya sahabat empat) dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan
al Sunnah (al Hadis), maka lembaga (madzhab) dilingkup fiqih tetap mengikuti
Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al
Qur’an dan Al Sunnah.
Adapun
institusi akidah (kalam) Yang sejalan dengan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
ialah insitusi akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu
Mansur Al maturidi. Meskipun tidak sama persis pemikiran kalam mereka
berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhdap petunjuk naqli.
Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naqli, tidak
sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logka
Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabakan petunjuk naqli.
Dengan demikian
maka dalam konteks historis paham Ahlussunah Wal jama’ah adalah sebuah
paham yang dalam lingkup “akidah” mengkuti pemikiran kalam Al asy’ari atau
al Maturydi. Dan institusinya kemudian disebut al Asy’ariyah atau al
maturidiyah. Sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh
pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang
dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama
tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan pemikiran kalam al asy’ari dan al
Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti ; Al Baqilani, al Juwaini
(Imam Al Haramain), al isfirayini, Abu Bakar Al Qaffal, Al Qusyairiyi, Fahr Al
Din Ar Razi, Izzudin Abdul Salam, termasuk Al Ghazali dan Al Badzawi. Dan
pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah
pemikiran kalam al Asy’ari yang telah dikembangkan oleh Al Ghazali melalui
karya-karyanya, antara lain : Ihya Ulumuddin, Al Iqtisad fi Al I’tiqad, Al
Munqidz Min Al Dlalal, dan lain-lain.
Sejak agama
Islam masuk Indonesia telah dikenal pula tokoh-tokoh al Asy’ariyah seperti : syaikh
Sanusi, Syaikh Dasuki, Syaikh Al Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh al
Tarabulisi, Syaikh Al Fatani, dan lain-lain. Pemikiran kalam mereka ada
kemungkinan sebagian ada yang berbeda dengan pemikiran kalam al Asy’ari sendiri
atau setidaknya bernuansa lain.
Bahwa umat
Islam Indonesia sebagai mayoritas warga Negara dan bakan merupakan jumlah
terbanyak Negara yang penduduknya beragama Islam. Dalam paham keagamaanya,
hampir seluruh Muslim Indonesia adalah berpaham teologi Ahlussunah Wal
Jama’ah atau Sunni, dan sedikit sekali mereka yang mengaku berpaham Syiah,
Liberalisme (tahririyah), radikalisme (ushuliyah) dan lain-lain. Mereka
yang disebut terakhir ini, sebenarnya jumlah pengikutnya itu tidaklah banyak.
Hanya saja mereka tertata rapi, disiplin, fanatik dan memiliki komitmen tinggi
terhadap kelompoknya, sehingga mereka tampak bergaung dan hebat. *(6
===================
Maraji’:
1. (KH. Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008)
2. (Ahmad Sahidin,
Aliran-Aliran dalam Islam, 2009)
3. (Tim Saluran
Teologi 2005 (Santri Tamatan Aliyah MHM) , Akidah Kaum Sarungan; Refleksi Mengais
Kebeningan Tauhid, tahun 2010)
4. (Prof. DR.
Muhammad Abu Zahrah: (Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah) Terjmh. Aliran Politik
dan Akidah Dalam Islam, tahun 2011 M)
5. (Prof.DR. Harun
Nasution, Teologi Islam”Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan, 2011)
6. (Prof. DR. KH.
Sahilun A. Nasir, M.pd.I; Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Analisa dan
Perkembangannya, tahun 2010)
7. Al Imam
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al Madzahi Al islamiyah, Dar Al Fikr Al ‘Arabi
9 Robi’ul Awwal
1433 H
Oleh : محمد مؤلف
Subscribe to:
Posts (Atom)