Fatwa
dan Kesaksian Prof. Dr. Hamka Tentang
SAYYID
(Keturunan Al Hasan ra dan Al Husin ra)
Fatwa dan kesaksian dibawah ini kami
kutib dari Majalah “PANJI MASYARAKAT” No. 169 tahun
ke-XVII tanggal 15 Pebruari 1975 (4 Shafar 1395 H),
halaman 37-38. Makalah tersebut ditulis oleh almarhum
Prof. Dr. HAMKA dengan judul: “PENJELASAN ATAS
MASALAH GELAR SAYID ” .
Beliau adalah Ketua Umum Muhamadiyah
dan Ketua Umum MUI.
PENJELASAN ATAS MASALAH GELAR SAYID
“Yang pertama sekali hendaklah kita
ketahui bahwa Nabi SAW tidak meninggalkan anak
laki-laki. Anaknya yang laki-laki yaitu Qasim, Thahir,
Thaib dan Ibrahim meninggal di waktu kecil.
Sebagai seorang manusia yang
berperasaan halus, beliau ingin mendapat anak laki-laki
yang akan menyambung keturunan (nasab) beliau. Beliau
hanya mempunyai anak-anak perempuan, yaitu Zainab,
Rugayyah, Ummu Kaltsum dan Fathimah. Zainab memberinya
seorang cucu perempuan. Itupun meninggal dalam keadaan
masih menyusu. Ruqayyah dan Ummu Kaltsum mati muda.
Keduanya istri Usman bin Affan, meninggal Ruqayyah
berganti Ummu Kaltsum (ganti tikar). Ketiga anak
perempuan inipun meninggal dahulu dari beliau.
Hanya Fathimah yang meninggal kemudian
dari beliau dan hanya dia yang memberi beliau cucu
laki-laki. Suami Fathimah adalah Ali bin Abi Thalib.
Abi Thalib adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh
Nabi sejak usia 8 tahun.
Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan
Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi sebagai
seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah yang
akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah kasih
sayang dan cinta beliau kepada cucu-cucu ini. Pernah
beliau sedang ruku’ si cucu masuk kedalam kedua celah
kakinya. Pernah sedang beliau sujud si cucu berkuda
keatas punggungnya. Pernah sedang beliau khutbah si cucu
duduk ketingkat pertama tangga mimbar.
At Tarmidzi merawikan dari Usamah bin
Zaid, bahwa dia (Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain
berpeluk diatas kedua belah paha beliau. Lalu beliau Saw
berkata: “ Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak
perempuanku. Ya Tuhan, aku sayang kepada keduanya”.
Dan diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi
Bakrah, bahwa Nabi pernah pula berkata tentang Hasan:
“Anakku ini adalah Sayyid (tuan), moga-moga Allah akan
mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum
Muslimin yang berselisih”.
Nubuwat beliau itu tepat, karena pada
tahun 60 Hijriah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada
Muawiyah, karena tidak suka melihat darah kaum Muslimin
tertumpah. Sehingga tahun 60 H ini dinamai “Tahun
Persatuan”. Pernah pula beliau berkata: “Kedua anakku
ini adalah SAYYIDA (Dua Tuan) dari pemuda-pemuda di
Syurga kelak”.
Barang kali ada yang bertanya: ‘Kalau
begitu jelas bahwa Hasan dan Husain itu cucunya, mengapa
dikatakannya anaknya?”.
Ini adalah pemakaian bahasa pada orang
Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam Al-Quran Surat
ke-20 (Yusuf) ayat 6, disebutkan bahwa Nabi Ya’qub
mengharap moga-moga Allah menyempurnakan ni’matnya
kepada putranya, Yusuf, sebagaimana telah
disempurnakannya ni’mat itu kepada kedua bapak
sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishaq. Padahal yang bapak
atau ayah dari Yusuf adalah Ya’qub. Ishaq adalah
neneknya dan Ibrahim adalah nenek ayahnya. Diayat 20
(Yusuf): “Bapak-bapakmu Ibrahim dan Ishaq dan Ya’qub”.
Artinya nenek-nenek moyang disebut bapak, dan cucu-cicit
disebut anak-anak.
Menghormati keinginan Nabi yang
demikian, maka seluruh ummat Muhammad menghormati
mereka. Tidak pun beliau anjurkan, namun kaum Quraisy
umumnya, Bani Hasyim dan keturunan Hasan dan Husain
mendapat kehormatan istimewanya dihati kaum Muslimin.
Bagi Ahli-Sunnah hormat dan
penghargaan itu biasa saja. Keturunan Hasan dan Husain
dipanggilkan orang SAYYID, kalau untuk banyak SADAT.
Sebab Nabi mengatakan “Kedua anakku ini menjadi SAYYID
(Tuan) dari pemuda pemuda di Syurga”. Disetengah negeri
disebut ‘SYARIF”, yang berarti orang mulia atau orang
berbangsa, dan kalau banyak “ASYRAF”.
Yang hormat berlebihan sampai
mengatakan Hasan dan Husain tidak pernah berdosa
(Ma’shum) adalah kaum Syiah.
Menjawab pertanyaan tentang benarkah
Habib Ali Kwitang dan Habib Tanggul (Sholeh Alhamid)
keturunan Rosululloh Saw?. Sejak zaman kebesaran Aceh
telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu
datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung
tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina. Harus
diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di
seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun
kerajaan banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah
yang diperanakkan di Aceh. Syarif Kebungsuan tercatat
sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah
pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota
Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi
raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa
Sayid Al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa Sayid Bin
Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayid
Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid
Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang
sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari
keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka dinegeri ini yang
turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak
negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi
ulama.
Mereka datang dari Hadramaut dari
keturunan Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan Faqih
Al-Muqoddam. Mereka datang kemari dari berbagai
keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas,
Assegaf, Alkaf, Bafagih, Bilfaqih, Alaydrus, Bin Syeih
Abu Bakar, Alhabsyi, Alhaddad, Bin Smith, Bin Syahab,
Alqadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar,
Almusawwa, Ghathmir, Bin Agil, Al-Hadi, Basyaiban,
Bamakhromah, Ba’abud, Bin Syaikhan, Azh-Zhahir, Bin
Yahya dan lain lain. Yang menurut keterangan almarhum
Sayid Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab telah
berkembang menjadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah
keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa
Al-Muhajir.
Ahmad bin Isa Al-Muhajir lillah inilah
yang berpindah dari Bashrah ke Hadramaut. Lanjutan
silsilahnya ialah Ahmad bin Isa Al-Muhajir bin Muhammad
Al-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq bin
Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husain
As-sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya
cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti
Rosulillah SAW.
Sungguhpun yang terbanyak adalah
keturunan Husain dari Hadramaut itu, ada juga yang
berketurunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan
Syarif-Syarif Makkah, tetapi tidak sebanyak dari
Hadramaut.
Selain dipanggilkan Tuan Sayid, mereka
dipanggilkan juga HABIB, di Jakarta dipanggilkan WAN. Di
Serawak dan Sabah disebut TUANKU. Di Pariaman (Sumatra
Barat) disebut SIDI.
Mereka telah tersebar di seluruh
dunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baghdad
(Iraq), Syam (Syria) dan lain-lain mereka adakan NAQIB,
yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan
keturunan-keturunan itu. Di saat sekarang umumnya telah
mencapai 36-37-38 silsilahnya sampai kepada Sayyidina
Ali dan Fathimah.
Maka baik Habib Tanggul ( Sholeh
Alhamid ) di Jawa Timur dan almarhum Habib Ali (
Alhabsyi ) di Kwitang Jakarta, memanglah mereka
keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah
dari Bashrah ke Hadramaut itu, dan Ahmad bin Isa
Al-Muhajir tersebut adalah cucu ke 6 (7) dari cucu
Rosululloh, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kepada
keturunan-keturunan itu semuanya kita berlaku hormat dan
cinta.
Kepada mereka Rosululloh Saw berpesan:
“Janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan
amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa
Nasab dan keturunan kamu”.
Rosululloh Saw juga bersabda;
“Andaikata Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya
kupotong tangannya”.
Sebab itu kita ulangilah seruan dari
seorang ulama besar Alawy yang telah wafat di Jakarta
ini, yaitu Sayid Muhamad bin Abdurrahman bin Syahab,
agar generasi generasi yang datang kemudian dari turunan
Alawy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek
moyang, jangan sampai tenggelam kedalam peradaban Barat.
Seruan beliau itupun akan tetap memelihara kecintaan dan
hormat Ummat Muhammad kepada mereka.
***
Demikian telah kami sampaikan fatwa
dan kesaksian Bapak Prof.Dr.HAMKA. Semoga dapat
menambah wawasan pembaca.
Sumber: http://www.albayyinat.net/