Kami telah menyampaikan apa yang dimaksud dengan ahli bid'ah namun kami dikatakan telah menyerang ahlus sunnah.
Kami sekedar menyampaikan dan mengingatkan agar mereka tidak terjerumus
oleh hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Zionis Yahudi
Perbuatan manusia ada dua jenis yakni 1. Dalam perkara syariat atau 2. Di luar perkara syariat
Di dalam perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil
‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram”
maksudnya ibadah dalam perkara syariat (apa yang telah disyariatkanNya)
harus berdasarkan dalil yang menetapkannya.
Kita tidak boleh
menetapkan hukum perkara terkait dosa, baik sesuatu yang ditinggalkan
berdosa (perkara kewajiban) maupun sesuatu yang dikerjakan / dilanggar
berdosa (perkara larangan/pengharaman) tanpa ada dalil yang
menetapkannya.
Kita tidak boleh melarang sesuatu yang tidak
dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan
sesuatu yang tidak diwajibkanNya dan bagi yang melakukannya termasuk
melakukan bid'ah dholalah karena menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
tidak diturunkan keterangannya sehingga pelakunya akan bertempat di
neraka.
Contoh yang diperbincangkan dalam tulisan kaum syiah adalah hadits-hadits
seperti berikut
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku
mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya
rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan
tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan
melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar“. (HR Bukhari 6097)
Kalau memang sebenar-benarnya tidak membenci para ulama yang sholeh dari
kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
Kenapa harus marah ?
Kenapa harus gusar ?
Marah atau gusar adalah sikap atau perbuatan yang memperturutkan hawa nafasu
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku
jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Akhlak yang baik adalah mereka yang takut kepada Allah karena mereka selalu
yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah
dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan
maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang
berakhlakul karimah.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Tujuan beragama adalah untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah , muslim
yang baik, muslim yang sholeh (sholihin), muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin)
dan muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hati
(ain bashiroh)
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk
menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan
akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena
itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah”
Muslim yang dekat dengan Allah atau muslim yang meraih maqom disisiNya yakni
muslim yang telah dikaruniakan ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga selalu
berada dalam kebenaran, selalu berada pada jalan yang lurus.
Firman Allah ta’ala
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada
seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS
An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada
mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan
yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah
sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah
shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin
sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati
(ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar
dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam
hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya,
sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati
seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat)
maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan)
bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila
kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath
Thobari)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata,
“Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat
Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat
Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak
dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang
telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga
nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau
tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib,
padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan
petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa
memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan
yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua
bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik
menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan
dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar.
Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka
keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal
selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”
Kami telah uraikan kemungkinan seseorang menjadi nashibi atau orang-orang yang
membenci ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
yakni
1. Mereka korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka tidak dapat membedakan
antara kaum syiah dengan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait ,
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Mereka korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yakni ketika kaum Zionis Yahudi setelah
berhasil mengupayakan keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani, kaum Zionis Yahudi
melakukan pencitraan yang buruk terhadap para ulama yang sholeh dari kalangan
ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar para
ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait tidak dapat melanjutkan
kekhalifahan.
3. Mereka korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka lebih memilih mengikuti para ulama dari
kalangan "orang-orang yang membaca hadits" yakni para ulama yang
mengaku-aku mengikuti atau menisbatkan kepada Salafush Sholeh namun tidak
bertemu atau bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Apa yang mereka
katakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah ketika mereka membaca hadits,
tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat.
Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush
Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka
katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu
mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan
semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada
orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan
terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada
Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah
terhadap Salafush Sholeh. Fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi yang karena kesalahpahamannya atau karena
pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad
al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib
dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur
Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan
pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim,
lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau
berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa
berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku
tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk
memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti
akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh
shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka
membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari
agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari
3341)
***** awal kutpan ******
An-Nawaashib mufradnya naashib. Definisinya menurut Ahlusunnah adalah:
Orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Ali dan keluarganya.
Sedangkan definisinya versi orang-orang Syi’ah: An-Nawashib adalah Ahlusunnah
yang mencintai Abu Bakar, Umar dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya radhiallahu ‘anhum.
***** akhir kutipan *****
Ahlussunnah adalah adalah "orang-orang yang membawa hadits" yakni
para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama
yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau
para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru
dengan Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan
bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jelas kita mayoritas kaum muslim tidak menggunakan definisi yang diutarakan
oleh kaum syiah
Jadi definisi nashibi adalah orang-orang yang membenci Ahlul Bait ketika itu
adalah orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Sayyidina Ali bin Abi Thalib
dan keluarganya dikarenakan Sayyidina Ali ra menurut pemahaman orang-orang
serupa dengan Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi telah berhukum dengan
thagut, berhukum dengan selain hukum Allah karena menerima tahkim
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena
kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga sampai membunuh
Sayyidina Ali ra
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan
shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di
zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada
masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir
atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang
dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia
malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu
berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka
turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih
bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi
menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.
Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi , mereka membaca
Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka,
namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu
sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan
kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula
shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan
puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu
adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas
mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar
dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni anak-anak
muda yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk
menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar
kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui
kerongkongan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami
Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali
radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai
dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku
sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah)
bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam
pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan
ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan
Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah
melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak
sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Kesimpulannya nashibi adalah orang-orang yang membenci para ulama yang sholeh
dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) .
Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi adalah mereka
yang merasa lebih benar daripada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ,
mereka yang merasa lebih benar dari sayyidina Ali ra dan mereka yang merasa
lebih benar dari para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketersambungan mereka kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur sekaligus yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan
melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka
terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab
yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu
atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama
dan akidahnya.
Dalam perkara agama tidak ada hal yang baru. Justru harus berlaku jumud atau
istiqomah sebagaimana apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam.
Oleh karenanya untuk menjaga kemurnian ilmu agama lebih baik dengan cara
bertalaqqi (mengaji) dengan ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang mengikuti
Imam Mazhab yang empat.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya,
istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah
Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya
pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka
penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari
sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam
perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya,
menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka
menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan
kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi
pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke
berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam
aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan
universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi
sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah
manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis.
Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis
semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat.
Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum
kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan
karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja
yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari
orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad
adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi
60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak
ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya
adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat
gurunya dan guru-gurunya terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari
pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk
meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad
daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang
di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga
berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan
demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,
makna dan pengamalan“
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah. Ijazah ada
yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan. Memberikan ijazah sangat
penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandaran
seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara
tertulis menjadi suatu keharusan
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam
ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam
keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik
akhlaknya‘. Dan beliau juga bersabda: “Ambillah bacaan Al Qur’an dari empat
orang. Yaitu dari ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian Salim, maula Abu Hudzaifah,
lalu Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim).