lanjutan:
Mungkin inilah
yang menimbulkan term ahli Sunah dan Jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagi lawan bagi golongan
Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah
dalam term ini berarti hadis. Sebagaimana diterangkan Ahmad Amin, Ahli
Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, percaya pada dan
menerima hadis-hadis Sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah
berrati mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al Syari’ah al
Mahbubi yaitu ‘ammah al Muslimin (umumnya Ummat Islam) dan al
Jama’ah al katsir wa al sawad al a’dzam (jumlah besar dan khalayak
ramai).
Term ini
kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran-aliran al Asy’ari dan
al Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam
hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan : “ ……. Dan aliran Ahli Sunnah dan
Jama’ah muncul (dzahara) atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al Asy’ari
disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut
Mu’tazilah selama 40 Tahun.” Dengan kata lain Al Asy’ari keluar dari golongan
Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran
Asy’ari kata-kata Sunnah dan Jama’ah telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan
Arab. Umpamanya di dalam surat al Ma’mun kepada Gubernurnya Ishaq Ibnu Ibrahim
yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al Asy’ari lahir, tercantum
kata-kata wa nasabu anfusahum ila al sunnah (mereka mempertalikan
diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al Haq wa al din wa al
Jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Bagimanapun,
yang dimaksud dengan Ahli sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan Teologi
Islam adalah Kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. *(5
Istilah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
a.
Ahl (ahlun), berarti golongan atau pengikut.
b.
Al Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup
ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
c.
Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
d.
Al Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw.
Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis,
istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang senantiasa
mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para sahabatnya. Atau
golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan sunnah para sahabat,
lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar bin
Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Selanjutnya
jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain adalah ekspresi nyata dari kandungan al
Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya disitilahkan dengan al Sunnah
atau al Hadis. Kemudian Al Qur’an sebagai kalamullah, terkemas sendiri dalam
mushaf Al Qur’an Al karim. Sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasulullah SAW
pun terkemas secara terpisah dalam kitab-kitab hadis, seperti sahih Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al turmudzi, Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu
Majah, serta kitab hadis-hadis lainnya yang disusun oleh para ulama lainnya.
Di samping itu
para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi pertama dan utama dalam
melazimi perilaku Rasulullah SAW, sehingga jalan hidup mereka praktis merupakan
penjabaran ynata dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Setiap langkah
hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang terkandung dan
terkehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan control langsung
dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jalan hidup mereka relatif
terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga jalan hidup
mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah jalan hidup Rasulullah
Saw. Sendiri. Dalam hadis diterangkan :
حَدَّثَنِي
إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ
سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ
أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ
وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ
السِّمَنُ
Artinya :”Telah
bercerita kepadaku Ishaq telah bercerita kepada kami an-Nadlar telah
mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Abu Jamrah, aku mendengar Zahdam bin
Mudlarrib, aku mendengar 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik ummatku
adalah yang orang-orang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang
yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah
mereka". 'Imran berkata; "Aku tidak tahu apakah setelah menyebut
generasi beliau, beliau menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi
setelahnya.""Kemudian akan datang setelah kalian suatu kaum yang
mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi dan mereka suka berkhiyanat
(sehingga) tidak dipercaya, mereka memberi peringatan padahal tidak diminta
memberi fatwa dan nampak dari ciri mereka berbadan gemuk-gemuk".
(HR. Bukhari)
Ada dua
pendapat mengenai hadis tersebut. Pertama, periode seratus. Pertama dari
masa hidup Nabi SAW (abad 1 H). kemudian seratus tahun kedua (abad II H) dan
disusul seratus tahun berikutnya lagi (abad III). Hal ini didasarkan pada
pengertian qarnun, yaitu abad atau hitungan 100 tahun. Kedua,
ada yang berpendapat bahwa qarnun tidak diartikan dengan perhitungan 100
tahun, tetapi yang dimaksud adalah suatu situasi yang mana ajaran-ajaran Islam
secara affah, integral dan komprehensif dia amalkan oleh pemeluk-pemeluknya dan
belum timbul adanya firqoh-firqoh. Hal ini terjadi hanya pada masa hidup Nabi
SAW, masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq Ra., dan Umar Bin Khatab. Pasca masa
tersebut mulai timbul adanya konfik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan
paham keagamaan, yaitu masa akhir khalifah Utsman bin ‘Affan dan seterusnya.
Sejalan dengan
pemikiran yang demikian itu , maka tepatlah definsi Ahlus Sunnah Wal jama’ah
yang dikemukakan oleh Abu al Fadl bin al syekh ‘Abd al Syakur al Sanuri dalam
kitabnya “ Al kawakib al lamma’ah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah wa
al Jama’ah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed)
mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya, baik
dalam lingkup akidah, ibadah maupun dalam lingkup akhlak.
Adapun wujud
konkritnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak lain ialah golongan yang
senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Artinya
dalam segala hal selalu merujuk kepada petunjuk Al Qur’an dan al Sunnah.
Selanjutnya diterangkan :
“tatkala itu
telah terjadi penamaan Ahlussunah wal Jama’ah bagi orang-orang memegangi
sunnah Nabi SAW dan thariqah (cara hidup) para sahabat dalam akidah agama, amal
perbuatan badaniyah dan akhlak hati.”
Menurut
Muhammad Khalifah al Tamimi dalam “Mu’taqad Ahl as Sunnah wal Jama’ah Fi
Tauhid al Asma Wa al Shifat, 1999” : “Pengertian tentang Ahlus
Sunnah ; kadang-kadang para ulama menggunakan nama Ahlus Sunnah Wal
jama’ah, sebagai pengganti dari nama salaf. Maka Ahlus Sunnah Wal
jama’ah adalah para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan siapa saja yang
berjalan menurut pendirian Imam-Imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya. Maka menyimpang dari pengertian ini
semuanya dipandang sebagai kelompok ahli bid’ah dan orang-orang yang
memperturutkan hawa nafsu. Diterangkan oleh Ibnu Abbas ra. Dalam menafsirkan
firman Allah Ta’ala (surat Ali Imran, ayat 106) :
يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya : “
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS. Ali Imran :106 )
Dikatakan wajah
yang putih berseri adalah orang-orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan wajah
yang hitam muram adalah adalah wajah orang-orang ahli bid’ah dan perpecahan.
Dengan kata
lain, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang senantiasa mengikuti
jejak hidup Rasulullah SAW, dan jejak para sahabat terutama jejak Khulafa al
Rasyidin, dengan senantiasa berpegangteguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah.
Mengenai
batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di atas, para ulama merujuk
kepada beberpa dalil naqli, terutama yang termaktub dalam beberapa hadis. Di
antaranya :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin
Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yahudi terpecah menjadi tujuh
puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh
satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan." (HR. Abu Daud, At turmudzi, An Nasa’I dan Ibnu
Majah)
Hadis ini,
tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang disebut “ Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, “ tetapi baru diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah
Saw. Menjadi 73 Golongan (firqah). Maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berarti
salah satu dari 73 golongan tersebut.
Hadis lain,
yakni yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibnu Umar Ra., bahwasanya Nabi
saw. Bersabada :
…….وَإِنَّ بَنِي
إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
مُفَسَّرٌ لَا نَعْرِفُهُ مِثْلَ هَذَا إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
“…………sesungguhnya
bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka
kecuali satu golongan, " para sahabat bertanya, "Siapakah mereka
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang
mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya". Abu Isa berkata;
'Hadits ini hasan gharib mufassar, kami tidak mengetahuinya seperti ini kecuali
dari jalur sanad seperti ini.”'(HR. Turmudzi)
Meskipun belum
secara tegas terungkap istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, namun maknanya
yang tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari ancaman api
neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (jalan hidup)
Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya. Makna yang demikian inilah yang kita
maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan
demikian, maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah satu-satunya
golongan umat Islam yang selamat dari ancaman neraka, hal ini lebih tegas lagi
diungkapkan dalam hadis lain yang Artinya :
“(Rasulullah
Saw. bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad,sungguh umatku
bakal terpecah menjadi 73 golongan.Maka yang satu golongan masuk
surga,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang sahabat bertanya:
Siapakah golongan yang masuk surga itu ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan
Ahlus Sunnah Wal jama’ah”. (HR.Al-Tabrani)
Hadis tersebut
secara langsung menyebutkan kata”Ahlus Sunnah Wal Jammaah” sebagai satu-satunya
golongan yang dinyatakan bakal selamat bisa masuk surga.
Berdasarkan
ketiga hadis tersebut, jelaslah bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak
golongan sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di antara 73 golongan itu,
terdapat satu golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang
senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah saw. Dan jejak hidup sahabatnya.
Dan golongan yang selamat (masuk sorga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah.
Dengan
demikian, maka sejalan dengan batasan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan
Ahlussunah Wal jama’ah ialh golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup
Rasulullah Saw. dan jalan hidup para sahabat, tentunya dengan berpegang teguh
kepada Al Qur’an dan al Sunnah. Golongan yang demikian inilah yang diisyaratkan
oleh Rasulullah Saw. akan masuk surga.
Jumlah para
sahabat Rasul, tentulah cukup banyak, ketika Nabi Saw. melakukan haji Wada’
menurut suatu riwayat adalah bersama 114.000 sahabatnya. Ini belum terhitung
mereka yang tidak ikut berangkat menunaikan haji karena keadaan, mereka yang
telah meninggal dunia sebelumnya, baik sebagai syuhada’ maupun meninggal dunia
karena sakit atau lainnya. Selama perilakunya tetap berpegang teguh kepada Al
Qur’an dan al Sunnah meskipun Rasulullah saw. telah wafat, maka semua perilaku
mereka itu akan diikuti oleh kaum muslimin yang berfaham Ahlus Sunnah
Waljama’ah. Namun, mengingat banyaknya jumlah mereka dan tidak mudahnya
mengidentifikasi perilaku satu persatu dari mereka, maka yang menjadi rujukan
utama ialah sahabat empat yang dikenal sebagai al Khulafa’ Al Rasyidin (para
khalifah yang terpercaya), yakni sahabat : Abu Bakar Siddiq Ra., Umar Ibnu
Khatab Ra., Utsman Bin Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Karramallahuwajhah.
Bahkan hanya
keempat sahabat itulah yang disifati oleh Rasulullah Saw. sebagai al Mahdiyyin
(sahabat utama yang mendapat petunjuk) serta diperintahkan supaya diikuti
perilakunya, sebagaimana diungkapkan dalam hadis yang berbunyi :
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ
بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا أَتَيْنَا
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ {
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ
وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا
فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada
kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin
Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata;
telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr
keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah
termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: “(dan tiada (pula dosa) atas
orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang
membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan
berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu
yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke
arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata
menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau
washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang
memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang
yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah
kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat
petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap
perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat." (HR. Abu
Daud ).
Perlu
dipelajari perkembangan sejarah Ahli Sunnah Wal Jamaah mulai dari awalnya
tatkala ia masih bersifat substansial hingga melembaga menjadi sebuah
paham.Kongkretnya, mulai dari periode rosul,sahabaat, tabiin,imam mazhab
empat,imam Al-Ghazali dan Al-Junaidi.Sehingga substansi dan institusi paham
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu akan dapat dipahami lebih jauh dan lebih luas.
Apabila di
telusuri dari masa khlifah Abu Bkar ra. Sampai masa khalifah Ali bin Abi Thalib
kw. (11-40 H/632-661 M), umat Islam tidak luput dari nuansa perbedaan faham.
Namun paham-paham yang muncul dan sampai keluar dari khittah Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah (Al Qur’an dan Hadis) pada dasarnya tidak sebanding dengan jumlah
mereka yang masih berada dalam Khitahnya.
Samapi disini
batasan subsatansial paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih diikuti oleh
golongan terbanyak. Golongan mayoritas ini memang belum disebut sebagai
golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Para ulama menyebutnya dengan istilah
yang berbeda-beda, antara lain :
a.
Jumhur al Ummah al islamiyyah (mayoritas Umat Islam).
b.
Jamaiyyah (umat terbesar)
c.
Al Sawad al A’dzam (kelompok Besar)
d.
Al salaf Al Salih (para pendahulu yang saleh-saleh)
e.
Ahl al Haq (golongan yang hak/benar)
f.
Ahl Al Hadis
Perkembangan
selanjutnya, nama-nama tersebut masih banya dipergunakan untuk menyebutkan
golongan terbanyak yang tetap berpegang teguh kepada petunjuk naqli (Al Qur’an
dan As Sunnah), bahkan pada gilirannya, nama-nama itu sering dipergunakan
sebagai nama lain dari Ahlus Sunnah Wal jama’ah.
Paham Ahlus
Sunnah Wal jama’ah, adlah paham Islam yang secara menyeluruh. Para ulama tidak
ada yang berbeda pendapat tentang Islam dalam lingkup makro yang meliputi
lngkup-lingkup aqidah, ibadah (fiqih), dan akhlak (tasawuf). Maka dengan
mengacu batasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah secara formal di atas, ruang
lingkup paham Ahlussunnah Wal jama’ah meliputi tiga lingkup
aqidah, ibadah dan akhlak. Dan dalam makna yang mikro, ia hanya meliputi
lingkup akidah saja.
Untuk
membedakan lingkup-lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tersebut dengan
lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan menyebutkan masing-masingnya
menjadi Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ibadah (fiqh) Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah dan Akhlak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Substansi paham
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat
(utamanya sahabat empat) dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan
al Sunnah (al Hadis), maka lembaga (madzhab) dilingkup fiqih tetap mengikuti
Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al
Qur’an dan Al Sunnah.
Adapun
institusi akidah (kalam) Yang sejalan dengan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
ialah insitusi akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu
Mansur Al maturidi. Meskipun tidak sama persis pemikiran kalam mereka
berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhdap petunjuk naqli.
Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naqli, tidak
sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logka
Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabakan petunjuk naqli.
Dengan demikian
maka dalam konteks historis paham Ahlussunah Wal jama’ah adalah sebuah
paham yang dalam lingkup “akidah” mengkuti pemikiran kalam Al asy’ari atau
al Maturydi. Dan institusinya kemudian disebut al Asy’ariyah atau al
maturidiyah. Sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh
pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang
dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama
tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan pemikiran kalam al asy’ari dan al
Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti ; Al Baqilani, al Juwaini
(Imam Al Haramain), al isfirayini, Abu Bakar Al Qaffal, Al Qusyairiyi, Fahr Al
Din Ar Razi, Izzudin Abdul Salam, termasuk Al Ghazali dan Al Badzawi. Dan
pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah
pemikiran kalam al Asy’ari yang telah dikembangkan oleh Al Ghazali melalui
karya-karyanya, antara lain : Ihya Ulumuddin, Al Iqtisad fi Al I’tiqad, Al
Munqidz Min Al Dlalal, dan lain-lain.
Sejak agama
Islam masuk Indonesia telah dikenal pula tokoh-tokoh al Asy’ariyah seperti : syaikh
Sanusi, Syaikh Dasuki, Syaikh Al Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh al
Tarabulisi, Syaikh Al Fatani, dan lain-lain. Pemikiran kalam mereka ada
kemungkinan sebagian ada yang berbeda dengan pemikiran kalam al Asy’ari sendiri
atau setidaknya bernuansa lain.
Bahwa umat
Islam Indonesia sebagai mayoritas warga Negara dan bakan merupakan jumlah
terbanyak Negara yang penduduknya beragama Islam. Dalam paham keagamaanya,
hampir seluruh Muslim Indonesia adalah berpaham teologi Ahlussunah Wal
Jama’ah atau Sunni, dan sedikit sekali mereka yang mengaku berpaham Syiah,
Liberalisme (tahririyah), radikalisme (ushuliyah) dan lain-lain. Mereka
yang disebut terakhir ini, sebenarnya jumlah pengikutnya itu tidaklah banyak.
Hanya saja mereka tertata rapi, disiplin, fanatik dan memiliki komitmen tinggi
terhadap kelompoknya, sehingga mereka tampak bergaung dan hebat. *(6
===================
Maraji’:
1. (KH. Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008)
2. (Ahmad Sahidin,
Aliran-Aliran dalam Islam, 2009)
3. (Tim Saluran
Teologi 2005 (Santri Tamatan Aliyah MHM) , Akidah Kaum Sarungan; Refleksi Mengais
Kebeningan Tauhid, tahun 2010)
4. (Prof. DR.
Muhammad Abu Zahrah: (Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah) Terjmh. Aliran Politik
dan Akidah Dalam Islam, tahun 2011 M)
5. (Prof.DR. Harun
Nasution, Teologi Islam”Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan, 2011)
6. (Prof. DR. KH.
Sahilun A. Nasir, M.pd.I; Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Analisa dan
Perkembangannya, tahun 2010)
7. Al Imam
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al Madzahi Al islamiyah, Dar Al Fikr Al ‘Arabi
9 Robi’ul Awwal
1433 H
Oleh : محمد مؤلف
No comments:
Post a Comment