AHLUSSUNNAH DALAM TEOLOGI ISLAM 1
Dalam disiplin ilmu kalam Kalau di
pondok-pondok pesantren biasanya diajarkan kitab-kitab yang menjadi pegangan
seperti Tijan Ad darari, Aqidatul Awam, Ummul barahin, Sanusiyah,
Kifayatul Awam, jauhar Tauhid, Samarqandiyah dan kitab-kitab lain.
Dimana kitab-kitab tersebut membahas mengenai kajian-kajian dalam ilmu kalam
khususnya yang berafiliasi dengan aliran Al As’ariyah dan Al Maturidiyah
yang lebih dikenal dengan aliran Ahlussunah.
Berkenaan dengan diskursus tentang Ahlussunnah
maka saya akan mengutip beberapa literatur yang menjelaskan tentang apa dan
siapa sebenarnya yang menyandang Aliran Ahlussunah dalam perspektif
sejarah pemikiran Ilmu kalam atau Teologi Islam.
Arti Ahlussunnah ialah penganut
Sunnah Nabi. Arti wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai
I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum ahlussunah wal Jam’ah
ialah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad
SAW dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad nabi SAW dan sahabat-sahabat itu telah
termaktub dalam Al Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum
tersusun secara rapid an teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan
dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan
Ali al Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H.- wafat di Basrah juga tahun
324 H. dalam Usia 64 tahun)
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada
kaum Ahlussunnah wal jama’ah dengan kaum ‘asy’ari, dikaitkan
kepada Imam Abu Hasan ‘Ali Al Asy’ari tersebut. Dalam kitab-kitab Ushuluddin
biasa juga dijumpai perkataan Sunny, kependekan Ahlussunnah wal Jama’ah,
orang-orangnya dinamai Sunniyun. Tersebut dalam kitab Ittihaf
Sadatul Muttaqin karangan Imam Muhammad bin Muhammad al Husni az
Zabidi, yaitu kitab Syarah dari kitab Ihya Ulumuddin karangan
Imam Al Ghazali, pada jilid 2 pagina 6 yaitu : “Apabila disebut kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yag mengikut rumusan
(paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi.”
Kaum Ahlussunah wal Jama’ah
muncul pada abad 3 Hijriyah sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat (Syiah,
Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujassimah dan sebagian paham Ibnu
Taimiyah) timbulah golongan yang bernama kaum Ahlussunah wal Jama’ah,
yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu
Hasan Ali al ‘Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi.*(1
Ahlu Sunah merupakan
madzhab terbesar yang dianut umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni.
Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah Ibnu
Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah (Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.
Yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bakan saat terjadinya
kekuasaan Islam dari Khalifah Ali Bin Abi Talib oleh Muawiyah, kedua Abdullah
itu tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan
diri dalam ibadah-ibadh yang ketat (taqarrub) kepada Allah Azza Wa Jalla. Skap
moderat itu kemudian menjadi ciri dari teologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau
Sunni (mengutip Nurcholis Majid; Khazanah Intelektual Islam).
Menurut Nucholis Majid, istilah Ahlu Sunnah
baru muncul pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far
Al Mansur (137-159 H/754-755 M) dan Harun Al Rasyid (170-194 H? 785-809 M),
yakni saat munculnya Abu Hasan Al Asy’ari (260-324 H?873-935 M). yang
beraliran Al asyariyah dan Abu Mansur Muhammad (w.944) yang beraliran
Maturidiyah. Mereka berdua mengaku berpaham (madzhab) Ahlu Sunnah.
Istilah Ahlu Sunnah wal jama’ah apabila
ditelusuri dari hadis terdapat pada Riwayat Imam Abu daud dan Ibnu Majah. Tapi
istilah itu kemudian melekat pada kelompok Islam yang mendukung sunnah Nabi
seperti ahli Hadis, ahli kalam dan ahli politik. (Nourouzzaman Shiddiqi,
Jeram-jeram Peradaban Muslim, 1996)
Menurut Abdul Hadi Awang, mereka yang disebut Ahlu
Sunnah adalah yang mengaku Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para
pemimpin Islam Khulafa’ ar Rasyidun dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As
Sunnah. (Abdul Hadi Awang, Faham dan Ideologi Umat Islam : Rujukan Lengkap
Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam
Pertama, 2008).
Generasi pertama Ahlu Sunnah adalah para
Sahabat Rasulullah SAW, tabi’in, dan setelah tabi’in yang dikenal dengan
sebutan Salaf. Generasi selanjutnya adalah para ulama dari aliran Maturidiyah
dan Asy’ariyah serta para ulama fiqih seperti Ahmad bin Hmbal (w.241 H),
Abu Hanifah, Malik Bin Anas (w. 179), Imam Syafi’I, Imam Sufyan As Sauri, dan
lainnya.
Keberadaan aliran Ahlu Sunnah mulai
kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan dukungan dari kekuasaan Daulah Abbasiyah
yang dipimpin oleh Al Mu’tashim yang tidak ketat dalam persoalan aliran
teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya , khalifah Al Mutawakkil yang
menjabat setelah Al Mu’tashim, membebaskan Ahmad bin Hambal dari tahanan
dan menyatakan Mu’tazilah sebagai aliran terlarang. Bahkan pejabat-pejabat yang
masih beraliran Mu’tazilah diharuskan bertobat dan masuk kealiran Ahlu
Sunnah. Apabila masih bersikeras, tak segan-segan mereka disiksa hingga
menyatakan kelaur dari keyakinannya.
Bahkan seorang Mu’tazilah yang juga pejabat
hakim Mesir yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais, oleh suruhan Al
Mutaakkil dijatuhi hukuman cambuk, dicerca dan disiksa sampai hampir mati. Hal
itu dilakukan sebagai balas dendam atas penyiksaan terhadapnya yang dilakukan
Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais saat melakukan mihnah. Hampir semua
tokoh dan pengikut Mu’tazilah pun dijatuhi hukuman mati dan sebagian
dipenjarakan serta disiksa hingga menyatakan keluar dari aliran Mu’tazilah.
Tindakan kejam yang berbalut unsur
politik dan kebencian terhadap aliran yang berbeda ini menimpa juga pada
sejarawan dan ahli tafsir ternama, Muhammad bin Jarir At Thabari (w.311
H/923 M). Ulama Sunni ini disiksa karena menulis buku “Ihtilafu Al
Fiikaha” yang berisi tentang perbedan pendapat dalam fiqih, tetapi tidak
mencantumkan pendapat Ahmad Bin Hambal. Setelah ditanya, At Thabari menjawab
bawa Ahmad bin Hambal bukan seorang ahli fiqih, tetapi seorang ahli hadis.
Atas jawababnya itu At Thabari diperlakukan secara keji dengan dilempari batu
dan dituduh telah meremehkan ulama besar. Hal yang paling menyakitkan bagi At
Thabari adalah munculnya larangan menghadiri kuliahnya dan mengharamkan membaca
karya-karyanya.
Tidak hanya kepada Mu’tazilah kebijakan dan
tindakan zalim khalifah Al Mutawakkil pun merambah kepada semua aliran yang
bercorak rasional. Selain itu Al Mutawwakkil memerintahkan tentaranya untuk
menghancurkan bangunan-bangunan suci Syi’ah, termasuk makam Al Husain bin Ali
dan melarang berziarah ketempat tersebut.
Bagaimanakah ajaran dan pokok-pokok dasar
keyakinan teologi Ahlu Sunnah ini ? dalam memaknai iman, aliran ini
berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, mengucapkan dengan lisan
dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep ketuhanan Ahlu Sunnah
menetapkan bahwa tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, asma dan sifat. Mengenai
Al Qur’an, Ahlu Sunnah meyakini al Qur’an sebagai kalam Allah, bukan
Makhluk seperti yang diyakini Mu’tazilah.
Ahlu Sunnah menetapkan
sumber pengambilan hukum didasarkan pada Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Seseorang belum dikatakan muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang
lima : membaca syahadat, shalat (lima waktu), puasa (ramadhan), zakat dan haji.
Adapun dalam rukun iman (ushuluddina), Ahlu Sunnah menetapkan bahwa
seseorang dikatakan beriman apabila meyakini Allah sebagai tuhannya, iman
kepada malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan
Rasul Allah, iman kepada hari Akhir (qiyamat) dan iman kepada qadha-qadar yang
ditetapkan Allah.
Sejarah mencatat bahwa aliran ini pecah menjadi
dua. Pertama adalah golongan salafiyah yang diwakili Ahmad bin
Hambal, Abu Hasan Al Asy’ari (w.330), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
(w.751) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M). adapun yang menjadi
cirinya adalah mereka menafsirkan Al Qur’an dan hadis secara harfiyah
(tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi,
menolak semua ulama yang menafsirkan Al Qur’an secara batiniyah, menyalahkan
pendapat para fuqoha apabila tidak sesuai dengan Al qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW.
Kedua adalah
golongan Khalaf yang diwakili oleh Al Baqilani (w.403 H)
dan Al Juwaini (w.478 H). golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan
bersikap toleran terhadap kalangan sufi. Bidang fiih merujuk pada empat imam
madzhab fiqih dan hadis menggunakan riwayat-riwayat dari “ Al Kutub Al
Sittah” yang meliputi Bukhari (w.256 H/870 M), Muslim (w.261 H/875 M),
Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Abu Daud (w.275 h/886 M), Al Tirmidzi (w.279 H/892
M) dan An Nasai (w.303 H/916 M).
Pada awal abad pertengahan, Imam Al Ghazali
memasukkan Tasawuf dalam Khazanah teologi Ahlu Sunnah. Hanya bidang filsafat
yang tidak menjadi perhatian mereka karena mereka berupaya agar tidak
terpengaruh ajaran dan pemikiran dari luar Islam, terutama tradisi hellenisme
Yunani (Barat).
Selanjutnya tampil Ibnu Taimiyah memberikan
warna baru dengan pemikiran kritis dan membuka pintu ijitihad yang sebelumnya
tertutup akibat sikap taklid terhadap para ulama terdahulu. Setelah Ibnu
Taimiyah wafat, khazanah intelektual di kalangan Ahlu Sunnah mandek
karena pada masa itu konsentrasinya terfokus pada perebutan wilayah kekuasaan
antar-daulah Islam.
Tumbuhnya khazanah tasawuf dalam dunia Islam (Sunni)
dan pertikaian politik mengakibatkan aliran Ahlu Sunnah tercemari dengan
ajaran-ajaran dari luar Islam. Ditambah lagi dengan perebutan kekuasaan wilayah
Islam dan politik identitas yang mungkin meruncingkan pertikaian di antara
aliran-aliran Islam.
Hal ini terlihat dari berdirinya
pemerintahan Ghaznawi dan Daulah Saljuk (1063 -1128 M) di Turkistan yang
mengesahkan Ahlu Sunnah sebagai madzhab resmi Negara. Adapun teologi
Syi’ah Ismailiyah Menjadi madzhab resmi Daulah Fathimiyah (969-1171 M) di
Mesir.
Konflik di antara sesame Daulah Islam yang
membawa bendera teologi masing-masing membuka peluang bangsa Barat untuk
menjajah kawasan-kawasan Islam yang lemah akibat konfik yang berkepanjangan.
Akhirnya dunia Islam mengalami kemunduran dalam khzanah intlektual dan
menderita karena djajah bangsa Barat. *(2
Untuk menolak paham Muktazilah, Asy’ari
menyusun beberapa kitab tauhid. Tujuan penulisan kitab tauhid yang dikarangnya
tidak lain kecuali sebagai upaya kembali pada jalan kebenaran. Yakni kembali
kepada tradisi pemikiran ulama salaf. Dalam kisah itu, karya tauhid yang
dimaksud antara lain kitab al Luma’(mengutip Syekh Hamad bin Muhammad
al Anshari, mukaddimah(catatan komentar) Al Ibanah ‘an Ushul al Diyanah).
Bahkan menurut al Hafidz, Asy’ari termasuk seorang tokoh yang sangat
produktif. Akumulasi karyanya mencapai hitungan lima puluh lima kitab. Dan
rata-rata, bahasan karya-karyanya seputar akidah yang diproyeksikan untuk
menolak (counter) terhadap sendi-sendi bid’ah dan penyimpangan akidah.
Sejak saat itu ( setelah al Asy’ari
menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa dirinya telah melepaskan baju
Muktazilah) al Asy’ari dengan gigih berjuang bersama Ahlul hadis
meruntuhkan kepercayaan-kepercayaan Muktazlah. Beliau merumuskan pokok-pokok
pikiran dalam berbagai kitab karangannya. Para pengikutnya pun berdatangan dari
segala kawasan dunia Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan al
Asy’ariyah, dan dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini lebih banyak dikenal
dengan sebutan Ahlusunnah wal Jama’ah. (aliran ini diyakini oleh para
pengikutnya sebgai faham yang mewarisi tradisi eagamaan Nabi SAW, para sahabat,
tabiin dan tabiin-tabi’in. Mereka sebenarnya berjumlah mayoritas namun lebih
banyak diam (silent mayoriti) menghadapi beragam persoalan yang terjadi.
Artinya sejak timbulnya perpecahan di era Khalifah Usman RA dan ‘Ali RA,
dikalangan umat sebenarnya terdapat golongan yang berjumlah mayoritas namun
memilih diam dan tidak mau ikut campur dalam urusan politik. Mereka hanya diam
dan mengamati setiap perkembangan yang terjadi. Merekapun tidak menyatakan diri
bergabung dengan kelompok tertentu. Golongan inilah yang secara tradisional
meneruskan tradisi kegamaan yang diwariskan secara turun-temurun sejak era Nabi
SAW. Hingga periode berikutnya. Pada era kepemimpinan Al Ma’mun, dimana aliran
rasional Muktazilah cenderung dipaksakan agar dianut oleh seluruh rakyat,
akhirnya glongan ini menampakkan jati dirinya. Kebetulan saat itu terdapat
seorang intelektual handal dan kharismatik, Abu Hasan Al Asy’ari, yang
siap berada di barisan terdepan menentang faham Muktazilah. Bersama beliaulah
golongan ini menggabungkan diri. Aliran Asy’ariyah pada Akhirnya menjadi
aliran yang dianut mayoritas umat Islam hingga abad modern ini.)
Sehingga perjalanan panjang tokoh-tokoh pejuang
Ahlussunah wal jama’ah dalam sisi tradisi pemikiran sesuai dengan yang
disampaikan oleh Nabi SAW, sahabat dan salafus al Shalih harus kita
teladani meski harus berhadapan dengan cibiran dan cemoohan sekalipun
sebagaimana yang dialami ulama-ulama terdahulu dalam mempertahankan
keyakinannya.
Di kalangan penganut Sunni, kegemilangan
pemikiran Al Ghazali semakin mengokohkan aliran Asy’ariyah sehingga
paham ini hampir dianut oleh mayoritas umat Islam diberbagi Negara. Paham Sunni
Asy’ariyah secara tradisional terus bertahan hingga berabad-abad lamanya
dan tetap dengan memakai atribut dan nama lama, yakni Sunni Asy’ariyah
atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Di Indonesia, aliran ini direpresentasikan
oleh berdirinya gerakan Nahdlatul Ulama (NU) serta lembaga-lembaga pendidikan
pesantren yang tersebar luas di seantero negeri.
Selain paham tradisional Asy’ariyah, aliran
Sunni semakin berkembang dengan lahirnya sekte-sekte baru yang mengkalim
dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hambal, salah satu tokoh utama
Sunni, tetapi tidak mengaku sebagai pengikut Asy’ari. Sekte baru tersebut
dinamakan dengan Aliran salaf dan dipelopori oleh ulama kenamaan Ibnu
Taimiyah. Paham salaf Ibnu Taimiyah ini pada abad-abad berikutnya semain
berkembang dengan melahirkan sekte cabang baru yang cukup banyak jumlahnya
seperti aliran salaf dan gerakan Wahabi.
Masuknya Filsafat Yunani ke dunia Islam semakin
menyemarakkan diskursus akidah dikalangan umat Islam. Aliran pertama yang
sangat dipengaruhi filsafat adalah Muktazilah, sehingga ajaran tauhid mereka
cenderung rasional dan liberal. Pemerintahan Al Ma’mun yang memang menaruh
minat cukup besar terhadap filsafat, akhirnya menjadikan aliran Muktazilah
sebagai madzhab resmi Negara. Akibatnya pihak pemerintah cenderung memaksa para
pegawai pemerintah dan tokoh masyarkat untuk menganut paham Muktazilah. Dari
sinilah kemudian timbul perlawanan dari berbagai pihak terhadap ajaran
Muktazilah, yang pada akhirnya melahirkan paham Ahlussunah wal Jama’ah
(Sunni). Di Bagdhad hadir abu Hasan Al Asy’ari, di Samarkand ada Abu Mansur
al Maturidi, dan di Bukhara terdapat Abu al Yusr Ali al Bazdawi. Mereka semua
menggelorakan semangat perlawanan terhadap faham Muktazilah dan mengingkrarkan
diri sebagai pengikut Ahli Hadis (Imam Ahmad Bin Hambal) yang mewarisi
akidah nabi Muhamad SAW dan para sahabatnya (Sunni).
Pada masa-masa berikutnya dua aliran ini
(Muktazilah dan Sunni) nyaris mendominasi percaturan diskursus tauhid
umat Islam, disamping aliran Syiah yang sesekali muncul kepermukaan. Ketiganya
terus berkompetisi memperebutkan kantong-kantong suara umat Islam. Perbedaannya
jika Sunni semakin mendapat simpati, maka Syiah cenderung jalan ditempat
dan Muktazilah justru semakin anjlok.
Pada permulaan abad ke-5 Hijriyah aliran
Muktazilah akhirnya mati sama sekali, dan tinggallah Syi’ah dan Sunni yang
terus bertahan. Pada abad ini erakan kembali ke aliran Salaf yang
digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya, berhasil melahirkan
gerakan-gerakan baru dikalangan kaum Sunni, seperti Wahabi di Saudi
Arabia dan Muhammadiyah di Indonesia. Sementara aliran-aliran Sunni lainnya
seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah juga terus bertahan dan bahkan
melahirkan gerakan baru pula, seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia. *(3
Pengaruh penerjemahan buku-buku filsafat
terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tmpak sangat jelas. Nuansa pemikiran
Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar madzhab filsafat kuno tentang
alam, materi dan metafisika. Dikalangan umat Islam ada yang mengikuti madzhab
dan metode filsafat kuno. Pada masa daulah ‘Abbasiyah muncul kaum skeptic yang
meragukan segala sesuatu dengan metode kaum sofistik yang terdapat di Yunani
dan Romawi.
Dari madzhab-madzhab filsafat di atas lahir
bermacam-macam pemikiran yang mempengaruhi pemikiran keagamaan dan muncul
beberapa pemikir yang melahirkan pemikiran filosofis di bidang akidah Islam.
Dalam madzhab Mu’tazilah, umpamanya terdapat para ulama yang menggunakan metode
filosofis dalam menetapkan akidah Islam. Demikian pula ilmu kalam madzhab
Mu’tazilah dan ilmu kalam mazdhab penentangnya, Ahlussunnah, merupakan
kumpulan silogisme, perbandingan filosofis dan kajian rasonal murni.
Sebenarnya pada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah, Mu’tazilah
semakin melemah. Dulu mereka gigih dalam menolak kaum yang sesat dan menyerang
Islam. Ketika mereka telah lemah, Al Asy’ari mucul di tengah-tengah
ulama Sunni dan orang-orang yang melanjutkan aktivitas mereka untuk
melaksanakan pekerjaan besar, sebab ia adalah murid para ulama Mu’tazilah dan
mengenal benar kegigihan mereka dalam hal itu. Di samping itu, ia telah menjadi
imam Ahlussunnah yang terkenal pada waktu itu setelah dominasi golongan
Mu’tazilah hilang. Dengan begitu al Asy’ari memperoleh kedudukan yang
tinggi dan mempunyai banyak pendukung, ia mendapatkan dukungan dan pembelaan
dari para penguasa. Kemudian ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik dari kaum
Mu’tazilah maupun dari kaum yang sesat serta orang-orang kafir. Para
pendukungnya menyebar luas keberbagai kawasan untuk memerangi musuh Ahlussunnah
dan penentangnya. Kebanakan ulama pada masanya menggelarinya sebagai Imam
Ahlussunah wa al jama’ah.
Kendatipun demkian, sepeninggalannya datang
sejumlah ulama yang menentangnya. Ibnu Hazm misalnya menganggapnya sebagai
bagian dari Jabariyah. Pendapat Al Asy’ari tentang
perbuatan manusia, dalm pandangan Ibnu Hazm, tidak menetapkan adanya Ikhtiar
manusia. Ia juga menganggapnya sebagai pengikut Murji’ah karena
pendapatnya mengenai pelaku dosa besar.
Setelah Ibnu Hazm menyusul para
pengkritik lain terhadap Al Asy’ari pada bebrapa masalah selain dua
masalah di atas. Kendatipun demikian, kebanyakan para penentangnya sirna dalam
sejarah perjalanan Islam. Dari generasi ke generasi , pendukungnya justru
semakin kuat. Pandangan merekasemakin kokoh dan mengikuti jejak Al Asy’ari.
Mereka berdiri pada posisi Al Asy’ari dalam menyerang Mu’tazilah dan
golongan yang mengingkari Ketuhanan. Posisinya mereka gantikan dalam segala
bidang dan pembicaraan tentang akidah.
Sekalipun kesuksesan Al Asy’ari
berlanjut terus pada awal perjalanan sejarahnya, tetapi ada sejumlah ulama
besar Islam yang menentangnya, sungguhpun jumlah mereka tidak banyak. Dari
kalangan Hambalipun ada ulama yang menentangnya. *(4
Selain dari Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur
al Maturidi ada lagi seorang teolog dari mesir yang juga bermaksud untuk
menetang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al Thahawi (w.933 M)
dan sebagaimana halnya dengan Al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah,
Imam dari Madzhab Hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran At
Thahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam. Dengan demikian
aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran-aliran Khawarij,
Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.
Yang masih ada sampai sekarang adalah
aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan keduanya disebut Ahl Sunnah
wa al jama’ah. Aliran maturidiyah banyak dianut oleh ummat Islam yang
bermadzhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh
umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme
kedunia Islam, yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik
akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat Modern, maka ajaran-ajaran
Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelegensia
Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata Neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam
tulisan-tulisan mengenai Islam,”umpamanya kaum modernis Islam India disebut
neo- Mu’tazailah oleh pengarang-pengarang barat. Robert Caspar menulis tentang,
“Le Renouveau du Mo’tazilisme” dalam Insitut Dominicain d’Etudes
Orientales du Caire Melanges, IV (1957).
Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang
pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi
dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis
mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang
sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Dengan demikian kaum
Mu’tazilah, disamping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang
tidak kuat berpegang pada sunnah.
bersambung bagian 2
No comments:
Post a Comment