Ramadhan
Tanpa Bid’ah
Ramadhan tanpa bid'ah |
Ramadhan
adalah bulan mulia. Bulan tatkala kaum mukminin menuai pahala berlimpah yang
disediakan Allah SWT. Nuansa takwa begitu terasa di bulan ini. Masjid-masjid
dan surau-surau semarak oleh shalat berjamaah, tarawih dan tadarrus Al-Qur’an.
Betapa sejuknya bulan Ramadhan. Kegaduhan berita-berita berbau politik dan
ekonomi seolah sirna dari pendengaran. Andai seluruh bulan seperti Ramadhan, bisa
dibayangkan alangkah indahnya hidup di muka dunia ini.
Sayang,
ada segelintir orang yang mencoba mengusik kedamaian Ramadhan. Mereka memantik
perang opini di tengah suasan tenang yang dirasakan umat islam. Bermodal ilmu
pas-pasan, mereka mengeluarkan opini yang menggugat salah satu tuntunan Baginda
Nabi SAW dalam berpuasa, yakni imsak yang berarti menahan diri dari makan dna
minum beberapa saat menjelang azan subuh. Opini ini digulirkan oleh salah
seorang tokoh mereka yang bernama Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia
berkata: “Hal ini (imsak) termasuk bid’ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan
sunnah bertentangan dengannya karena Allah berfirman di dalam kitab-Nya yang
mulia.”
“Imsak
yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan
oleh Allah SWT sehingga menjadi kebatilan. Ini termasuk perbuatan bid’ah dalam
agama Allah SWT, padahal Nabi SAW telah bersabda, ‘Celakalah orang yang
mengada-adakan’!”
Opini
ini mulanya beredar di negeri Arab Saudi yang saat ini tengah dibelenggu kaum
wahabi. Belakangan, opini ini menyebar luas sampai ke persada Nusantara
tercinta. Sejumlah orang yang menjadi pengagum sosok Al-Utsaimin termakan oleh
opini ini. Mereka kemudian turut menggugat tradisi imsak di tanah air yang
selama ini sudah mengakar semenjak era Wali Songo.
Habib Umar, Imsak adalah bentuk ihtiyath |
Lalu
bagaimana sebenarnya hukum ber-imsak? Habib Umar bin Hafiz, seorang allamah
asal Hadramaut, Yaman, berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa berimsak itu lebih
afdhal (utama). Selama fajar belum terbit diperbolehkan bagi muslim yang
berpuasa untuk makan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi ihtiyath
(berhati-hati) dengan imsak sebelum azan dengan satu jangka masa adalah baik.
Apabila seseorang makan dan minum, kemudian ternyata perbuatannya itu terjadi
setelah terbit fajar, maka dia berdosa dan wajib meng-qadha puasanya hari itu.”
Mengenai
jarak waktu antara sahur dengan shalat subuh yang dirutini Baginda Nabi SAW,
Habib Umar bin Hafiz memaparkan: “Seukuran 50 ayat Al-Qur’an. Lima puluh ayat
itu setara dengan seperempat atau sepertiga jam. Oleh karena itu, imsak sebelum
fajar dengan seperempat atau sepertiga jam adalah awla (lebih utama) dan ahwath
(lebih berhati-hati).”
Kaum
Wahabi mendasarkan opininya pada hadits riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ
يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar
azan sedangkan bejana ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga
ia menunaikan hajatnya.”
Hadits
ini seolah-olah bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat AL-Baqarah
ayat 187 yang berbunyi:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” Padahal hadits
dan ayat di atas tidak berlawanan. Azan yang dimaksud apada hadits itu adalah
azan pertama yang berkumandang sebelum terbitnya fajar.
Syeikh al-Utsaimin |
Dalam
Al-Majmu’, Imam Nawawi menyebutkan: “Kami katakan bahwa jika fajar terbit
sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh
teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar,
maka batallah puasanya.”
Dalam
permasalahan ini sama sekali tidak terdapat perselisihan pendapat di antara
para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu Umar dan Aisyah RA bahwa
Bagina Rasulullah SAW pernah bersabda:
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh
Bilal mengumandangkan azan di malam hari. Tetaplah kalian makan dna minum
sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR Bukhari dan Muslim. Dalam
kitab shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna).
Dalam
riwayat lain disebutkan:
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
“Sampai
muadzin mengumandangkan azan ketika terbit fajar.”
Al-Hakim
Abu Abdillah meriwayatkan hadits yang pertama. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits
ini shahih sesuai criteria Imam Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh
Imam Al-Baihaqi. Kemudian Al-Baihaqi menyatakan: “Jika hadits tersebut shahih,
maka mayoritas ulama memahaminya bahwa azan yang dimaksud dalam hadits itu
adalah azan sebelum terbit fajar subuh. Di waktu itu masih diperbolehkan minum,
karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk subuh. Sedangkan maksud
kata-kata ketika terbit fajar, bisa dipahami bahwa ini bukan perkataan Abu
Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah azan kedua. Dari sini
terajut kecocokan antara hadits yang ada.”
DASAR
HUKUM
Tidak
bisa dipungkiri bahwa penetapan waktu imsak sebagai wujud ihtiyath (hati-hati)
dalam menjalankan puasa itu punya dasar hukum yang kuat. Habib Hasan bin Ahmad
bin Salim al-Kaff menyinggung permasalahan ini dalam kitab at-Taqriiraat
as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah yang merupakan talkish (rangkuman) ajaran
guru-gurunya, terutama al-Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq Habib Zain bin Ibrahim
bin Smith. Pada halaman 444 di kitab itu ia menulis: “…Dan imsak dari makan
(yakni bersahur) itu mandub (disunnahkan) sebelum fajar, kira-kira sekadar
pembacaan 50 ayat (kira-kira seperempat jam atau 15 menit).”
Dalam
kitab shahihnya, Imam al-Bukhari mencantumkan sebuah hadits yang mengungkapkan
bahwa Zaid bin Tsabit RA berkata: “Kami telah makan sahur bersama Baginda Nabi
SAW. Kemudian beliau SAW bangkit untuk mengerjakan shalat. Anas RA bertanya
kepada Zaid bin Tsabit RA, “Berapa lamanya antara azan (subuh) dengan masa
makan sahur itu?” Zaid bin Tsabit RA menjawab: “Kira-kira seperti lamanya
membaca 50 ayat.”
Hadits
ini mendalilkan dengan tegas bahwa jarak atau tenggang waktu antara bersahurnya
Baginda Nabi SAW dan azan subuh adalah seukuran bacaan 50 ayat Al-Qur’an.
Hadits ini sama sekali tidak menyuratkan makna bahwa Baginda Nabi SAW mekan
sahur sampai berkumandang azan subuh. Dengan gambling hadits ini menyatakan
bahwa beliau SAW bersahur dan berhenti kira-kira selama pembacaan 50 ayat
Al-Qur’an sebelum masuk waktu subuh.
Teks
inilah yang difahami dan dijadikan landasan hukum oleh para ulama kita sehingga
mereka menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat.
Tatkala
mengulas maksud hadits di atas, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul
Baari menyatakan: “…Dan telah berkata Imam al-Qurthubi: ‘Pada-nya (yakni dalam
kandungan hadits diatas) bukti bahwa selesainya masa sahur adalah sebelum
terbitnya fajar…’ Jadi selesainya sahur Baginda Rasulullah SAW menurut hadits
di atas adalah qabla thulu`il fajri (sebelum terbitnya fajar), yang menyiratkan
maksud Baginda Rasulullah SAW tidak terus-menerus bersahur sampai fajar terbit.”
Selanjutnya
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan: “Maka disamakan oleh Zaid bin
Tsabit RA yang demikian itu (imsak) dengan ukuran pembacaan Al-Qur’an, sebagai
isyarat bahwa waktu tersebut (yakni tenggang waktu antara selesai sahur dan
azan) adalah waktu untuk ibadah membaca Al-Qur’an (bukan waktu untuk mengunyah
makanan lagi).”
Al-Allamah
Badruddin al-‘Ayni dalam kitab Umdatul Qari menyatakan: “Hadits Zaid bin Tsabit
menunjukkan bahwa selesainya masa sahur adalah sebelum fajar dengan kadar
pembacaan 50 ayat.”
Ia
menulis pula: “Berdasarkan ini, mengakhirkan sahur sampai tinggal waktu antara
azan dan makan sahur itu seukuran bacaan 50 ayat.” Hadits ini menunjukkan bahwa
Baginda Nabi SAW serta para sahabat menyegerakan sahur sehingga tinggal masa
antara mereka dan fajar ukuran waktu yang disebut tadi (bacaan 50 ayat).
Dalam
karyanya Syarah Muslim, Imam Nawawi berkesimpulan senada. Sewaktu mengurai
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Bakar bin Abu Syaibah yang
kandungannya hamper sama dengan hadits riwayat Imam al-Bukhari di atas, Imam
Nawawi menyatakan: “…padanya (yakni dalam hadits itu) terkandung anjuran untuk
mentakhirkan (mengakhirkan) sahur sampai sedikit sebelum fajar.” Imam an-Nawawi
sama sekali tidak pernah mengeluarkan pernyataan bahwa mengakhirkan makan sahur
itu sampai terbitnya fajar, akan tetapi ia menyatakan bahwa mengakhirkan sahur
itu sampai sedikit waktu sebelum fajar.
Untuk
lebih memperkokoh pemahaman kita mengenai kesunnahan imsak, mari kita tengok
asal usul imsak. Dalam perhitungan awal waktu shalat dalam ilmu Falak terdapat
waktu antisipatif yang dikenal dengan ihtiyath. Waktu ihtiyath ini sangat urgen
karena keyakinan masuknya waktu merupakan syarat sah ibadaha shalat yang
dilaksanakan.
Ihtiyath
ini perlu dilakukan disebabkan adanya beberapa hal sebagai berikut:
1.
Adanya
pembulatan-pembulatan dalam perhitungan data. Walaupun pembulatan itu sangat
kecil, yang biasanya dalam satuan detik, disederhanakan dan dilakukan
pembulatan sampai satuan menit.
2.
Mengantisipasi
daerah di sebelah barat kota tertentu, karena daerah sebelah timur memasuki
awal waktu shalat lebih dahulu daripada daerah di sebelah baratnya.
3.
Mengcover
daerah yang memiliki tekstur ketinggian pada kota yang teksturnya tidak datar.
Daerah dataran tinggi akan menyaksikan saat matahari terbenam lebih akhir
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah dataran rendah. Mereka juga akan
menyaksikan matahari terbit lebih awal di banding dataran rendah. Seperti kota
Semarang misalnya. Daerah bagian utaranya dataran rendah karena berada di dekat
pantai, sedang daerah selatannya merupakan daerah perbukitan. Biasanya waktu
ihtiyath watu menit dari pusat kota yang dijadikan sebagai acuan koordinat
geografis mencakup sampai tepi barat kota sejauh 27,77 km.
Dengan
demikian, waktu azan shubuh yang tertulis dalam jadwal-jadwal imsakiyah telah
dilebihkan sekitar 4 menit dari seharusnya. Maka menentukan waktu imsak adalah
sebuah keharusan, kecuali bagi mereka yang punya kemampuan meliaht langsung
fajar shodiq tanpa mengandalkan jadwal.
Apapun
opini yang membid’ahkan imsak sama sekali tidak berdasar. Mereka sepertinya
mengada-ada saja tanpa mengkaji lebih jauh hadits-hadits nabawiy. Imsak
(menahan diri dari makan dan minum menjelang azan subuh di bulan Ramadhan)
jelas-jelas merupakan tuntunan Baginda Nabi SAW. Jadi aktivitas ini sangat jauh
dari pengertian bid’ah.
Agaknya,
opini kaum Wahabi menyangkut persoalan imsak ini tak perlu ditanggapi serius.
Mereka terkesan asal-asalan saja dalam mengeluarkan statement. Padahal, dengan
opini itu mereka menjerumuskan banyak pengikut mereka sendiri. Betapa tidak,
tanpa ber-imsak, seseorang beresiko batal puasanya karena melewati terbitnya
fajar sewaktu santap sahur. Ada baiknya kita jalani puasa Ramadhan kali ini
seperti biasanya, dengan tetap berpegang pada thariqah yang dituntunkan para
salaf kita.
Nilai-nilai
yang dianut kaum muslimin di Nusantara ini adalah warisan Wali Songo yang
apabila dirunut ke atas bersambung lurus kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Kita
pastikan bahwa kita beserta kaum muslimin setanah air ini melaksanakan
tradisi-tradisi Ramadhan tanpa perbuatan bid’ah sedikitpun.
Sumber:
Majalah Cahaya Nabawiy edisi no 107, Juli 2012: Rubrik Bayan, Ramadhan tanpa
bid’ah : hal:8-13
No comments:
Post a Comment