Hendaknya
kalian tahu bahwa sunnah menurut ulama hadits adalah sesuatu yang berasal dari
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan). Menurut
Fuqaha’ (ahli Fiqh), sunnah adalah salah satu dari status hukum Islam, yang
apabila mengerjakannya mendapat pahala dan apabila meninggalkanya tidak apa-apa
(tidak berdosa), kadang disebut mandub juga nafilah.
Hukum
Islam sendiri adalah 5 : Wajib, Sunnah (Mandzub/Mustahab), Mubah (Jaiz), Makruh
dan Haram.
Sunnah Rasulullah
(perbuatan, perkataan, taqrir) tidak serta status hukumnya menjadi wajib,
tetapi ada yang sunnah (mandub/mustahab) tergantung bentuk anjurannya dan
konsekuensinya. InsyaAllah kalian paham, bahwa apa yang berasal dari Rasul
tidak serta merta wajib bagi kalian.
Demikian
juga apa yang dinamakan bid’ah, bid’ah bukanlah status hukum Islam (sekali lagi
bid’ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk sesuatu yang berlawan
dengan sunnah.
Kalau
Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan
Kalau
Bid’ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.
Dari sini, semoga paham maksud dari
istilah “berlawanan”. Maka, sesuatu yang bukan berasal dari Rasul ini, haruslah
di tinjau dan dikaji apakah sesuai dengan Sunnah ataukah tidak. Bukan serta
merta ditolak begitu saja kemudian di masukkan kepada salah satu status hukum
Islam yaitu status haram.
Jika
langsung dimasukkan kepada status hukum haram, nantinya akan absurd dalam
memahaminya dan bingung terus-menerus seperti sebagian orang jahil. Karena
kalau langsung dimasukkan kepada status hukum haram dan sisi lain mengatakan
“berlawan dengan sunnah” maka jadinya seperti ini :
“Bid’ah
(Haram)” VS “Sunnah (Wajib)”. Karena lawan dari haram adalah wajib, dan
pemahaman seperti ini bak otak yang terbalik. Sedangkan apa yang berasal dari
Rasul (perbuatan/perkataan/taqir) tidak selalu dimasukkan kedalam status hukum
wajib.
Oleh
karena itu, sesuatu perkara baru (bid’ah) atau lawan dari yang berasal dari
Rasul (sunnah) harus diklasifikasikan status hukumnya.
Yang
mana nantinya ada yang masuk pada status hukum wajib, mandub, mubah, makruh dan
haram. Istilah seperti ini telah diajarkan oleh al-Imam Shulthanul Ulama Syaikh
‘Izzuddin Abdissalam asy-Syafi’i untuk menyederhanakan memahami bid’ah.
Sehingga dikenal istilah ;
1.
Bid’ah Wajibah : bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang
penetapan status hukum wajib, seperti : menyibukkan diri dengan ilmu nahwu
sebab dengannya bisa memahami Kalamullah dan Sabda Nabi, hal ini tergolong
wajib karena dalam rangka menjaga syariat Islam, sebab apa jadinya jika tidak
paham nahwu, maka orang-orang jahil akan berbicara secara serampangan.
Contohnya
lainya seperti : menjaga pembendaharaan kata asing al-Qur’an dan as-Sunnah,
pembukuan disiplin ilmu-ilmu ushul, perkataan jahr wa ta’dil dalam pembahasan
ilmu hadits.
2.
Bid’ah Mandubah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang
penetapan status hukum sunnah/mandub, seperti : membangun madrasah-madrasah, perkataan-perkataan
yang mengandung hikmah seperti tashawuf, perkataan yang bisa menyatukan kaum
Muslimin, shalat jama’ah tarawih, Maulid Nabi dan sebagainya.
3.
Bid’ah Mubahah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang
penetapan status hukum mubah, seperti : bersalaman setelah shalat subuh dan
ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan
tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.
4. Bid’ah
Makruhah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang
penetapan status hukum makruh, seperti : sekedar kumpul-kumpul di kediaman
orang meninggal, menghiasi masjid dengan berlebihan dan lain sebagainya
5.
Bid’ah Muharramah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang
penetapan status hukum haram, seperti : pemikiran Qadariyah, jabariyah,
murji’ah, mujassimah (contohnya : Wahabiyah, Karramiyah dan sejenisnya)
Jika
perkara baru tersebut sesuai dengan sunnah maka itu baik (hasanah) dan status
hukumnya bisa jadi sunnah, bahkan hingga wajib.
Namun,
jika sesuatu perkara baru bertentangan dengan sunnah maka itu buruk (qabihah)
dan status hukumnya bisa jatuh pada status hukum makruh bahkan haram.
Semoga
dengan pemaparan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang benar dalam
memahami bid’ah dan sunnah. Dan sekali lagi bid’ah itu bukan status hukum,
ingat ini.
Bahkan
ada sesuatu yang dibenci tapi halal, yaitu thalaq (perceraian). Sangat tidak
mungkin kalau karena disebabkan dibenci kemudian langsung dimasukkan kedalam
status hukum haram. Jadi pemahaman-pemahaman seperti ini atau sejenisnya adalah
benar-benar absurd.
Wallahu
A'lam.
No comments:
Post a Comment