Aswaja
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله وعلى اله وجميع انبياءالله
definisi ahlus sunnah wal jama'ah
Setelah menelaah dari berbagai referensi dan rujukan yang secara
spesifik menjelaskan pengertian Ahlussunnah wa Al Jamaah, bisa difahami
bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi
secara umum dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja
Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam
hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Ahlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang
mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah
Asya’iroh dan Maturidiyah.
Pada hakikatnya definisi Aswaja yang
secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara
umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang
komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal
aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al
Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya
kulli.
Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq
mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang
komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah
wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah,
musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga
meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam
ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan
ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal
jamaah.
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal
jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran
Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah
aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya
Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun
tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi
yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh
Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti
yang telah disabdakan oleh Nabi :
عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku.
Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang
yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in
dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin.
Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan
pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu
merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah
seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan
orang yang sudah mati dll.
III. Definisi Bid’ah
Bid’ah
dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya
Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai
salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari
bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi
hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran
Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi
alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah,
Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini.
Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an :
" وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan
dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS:
Al Anfal 35
Dan Hadits Nabi yang berbunyi:
عن أم المؤمنين
أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
:" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ".
Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal
baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan
tertolak.
HR. Bukhari dan Muslim
Kalimat أحدث dalam Hadits
diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara
yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu
pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT.
Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits :
وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في
خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ
مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة "
وكل ضلالة في النار"
Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya
Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua
perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua
bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi
dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” .
Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara
prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena
meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai
salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas
dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al
Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai
dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan
Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti
tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan
bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari
kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll.
Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai :
مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah.
Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper
Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang
tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih
sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti
menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll.
Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu :
1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang
ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi
perantara untuk memahami syari’at.
2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu.
4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an.
5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll.
IV. Kriteria penggolongan Bid’ah
Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum
yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan
ini .
1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa
dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan
tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka
itulah bid’ah yang dilarang.
2. Memperhatikan apa yang menjadi
ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah
diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran
kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah.
3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan
beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits.
Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu
tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang
wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah
Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan
bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru
ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i
berkata :
" ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا
او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ
يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ "
“
Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus
dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk
Bid’ah yang terpuji “
1. Ziarah kubur.
Tidak diragukan sama
sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah
sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak
Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah :
عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ
أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي
“
dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah
melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi
izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena
perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi
Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan
juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang
mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang
mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak
melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi
dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara
mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura
pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،}
Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"
Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa
berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan )
ku" HR. Al Thobroni
2.Tawassul.
Kalimat Tawassul secara
bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya
adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang
diinginkan. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي
سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.
QS: Al Maidah : 35
Dengan demikian, tawassul
tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan
utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada
sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ).
Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا"
" Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan
para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak
akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban )
3. Tabarruk ( Mencari Berkah )
Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya
kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan
kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang
dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan,
menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah
SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah
Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31
" Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31
"رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73
" Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait !
Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan
berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda
hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara
yang menyimpang syari'at Allah SWT.
Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ
التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ
آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248
Dan Nabi
mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi
raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan
dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun;
tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248
عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري
" Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu
pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya
". HR. Bukhori
Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari
Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya
aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya
setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan
mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT.
Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi".
Kesimpulannya,
mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang
terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari
Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil.
4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati
Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi
adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal
mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian
keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan
untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat.
Hal
tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal
ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan
Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu
adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan :
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال
السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ
عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ
إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ
أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai
Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami
peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa
untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW
menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka
sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima
hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari.
Semoga bermanfa'at
No comments:
Post a Comment