(Habib Ali Al-Jufri)
Madrasah Hadhramaut,
Pelajaran Pertama: Kembali kepada Jiwa Manusia
Setelah memahami hakikat dunia, kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya, berikut perkembangannya, dan hal-hal yang dicela dari dunia, selanjutnya mari kita merenungkan masalah terbesar pada era sekarang ini yang dihadapi manusia.
Dari manakah permasalahan itu muncul? Peperangan demi peperangan, yang telah menumpahkan darah manusia, apakah penyebab dan sumbernya?
Bila kita teliti dan menengok sedikit ke belakang, pertikaian sengit yang terjadi di antara manusia, antara negara dan negara, antara suku dalam satu bangsa, antara sekelompok masyarakat dalam satu lingkungan yang sama, antara kerabat dan sanak keluarga, antara sesama pekerja dalam satu profesi, kemudian perselisihan dan pertikaian yang terjadi dalam satu keluarga, permasalahan suami-istri, perceraian, hak asuh anak, dan sebagainya, semua permasalahan besar tersebut itu tidak lain kembali kepada jiwa manusia.
Bahagia atau duka, untung atau rugi, ridha atau murka, senang atau sedih, tenteram atau resah dan nestapa, semuanya kembali kepada jiwa manusia.
Itulah sebabnya, setelah bersumpah dengan berbagai wujud yang sangat nyata, matahari dan bulan, malam dan siang, langit dan bumi, Allah SWT menjadikan akhir dari sumpah-Nya adalah sumpah dengan manusia. Allah SWT berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” — QS Asy-Syams (91): 7-8.
Kemudian apa konsekuensi dari sumpah ini, apa yang menjadi jawaban dari sumpah ini? Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” — QS Asy-Syams (91): 9-10.
Berbicara tentang kebahagiaan, tentang kesuksesan dunia dan akhirat, tentang kerugian, tentang apa pun itu, permasalahan sesungguhnya ada pada jiwa manusia. Kita tinggal memilih: dunia, atau jalan menuju Allah. Itulah karenanya, kita sangat butuh untuk duduk bersama, merenungkan dan memikirkan ihwal perjalanan kita menuju Allah SWT.
Perbedaan Pandangan terhadap Dunia
Adalah perbedaan yang besar antara seseorang yang menyantap sesuap makanan untuk memelihara amanah tubuh yang Allah titipkan dan seseorang yang menyantap sesuap makanan, atau meminum satu tegukan, atau mengenakan sehelai pakaian, dengan niat semata-mata memakan makanan, meminum minuman, ataupun memakai pakaian itu.
Seseorang yang menyantap sesuap makanan, meminum satu tegukan, atau mengenakan sehelai pakaian untuk memelihara amanah tubuh yang Allah titipkan, niatnya adalah untuk melahirkan makna syukur kepada Allah SWT dari dalam hatinya, untuk menunaikan perintah Allah SWT sebagai seorang hamba yang memelihara amanah yang diterimanya dari Sang Pencipta. Hamba ini, apa yang ia kehendaki dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal? Ia adalah seorang murid. Ia menghendaki dan menginginkan Allah SWT, menginginkan ridha-Nya.
Adapun seseorang yang menyantap sesuap makanan, meminum satu tegukan, atau mengenakan sehelai pakaian dengan maksud semata-mata untuk makanan, minuman, ataupun pakaian itu, niatnya adalah semata-mata untuk bersenang-senang. Tidak ada tujuan lain kecuali meraih kesenangan dunia semata-mata. Pandangan dan penilaiannya terhadap dunia sebatas hanya pada meraih kenikmatannya dan bersenang-senang dengannya.
Dikisahkan, suatu hari Khalifah Ali bin Abi Thalib ditanya, manakah yang akan ia minum, air yang didinginkan atau air tawar biasa. Pertanyaan ini muncul dikarenakan sebagian orang zuhud di zamannya menjauhi minum dari air yang didinginkan.
Khalifah menjawab, “Aku minum air yang didinginkan.”
“Mengapa, wahai Amirul Mukminin?”
“Karena, dengan minum air yang didinginkan akan melahirkan makna syukur dari hati yang paling dalam.… Bila engkau berada pada cuaca sangat panas, atau musim kemarau yang terik, atau engkau sedang berpuasa dan telah datang waktu berbuka sementara engkau dalam kehausan yang teramat sangat, lalu engkau minum air yang didinginkan, bagaimana rasa syukurmu kepada Allah pada saat itu? Tentu engkau akan berucap ‘Alhamdulillah (dari dalam hati).’ Tentu rasa syukurmu akan muncul dari hati yang paling dalam bila air yang engkau minum itu dingin, atau hangat…. Alhamdulillah…. Aku memunculkan rasa syukur dari hatiku yang paling dalam.”
Apa Yang Membahayakan?
Bukanlah masalah bahwa seseorang bersenang-senang. Melainkan yang menjadi masalah adalah bahwa seseorang teledor dalam hidupnya terhadap amanah yang menjadi tujuan penciptaannya, sehingga ia tidak lagi memiliki tujuan selain kesenangan dunia.
Lalu apa yang membahayakan?
Yang membahayakan adalah kemerosotan moral dan kesia-siaan yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia, yang berupa kebencian, dengki, dan peperangan, yang sumbernya, sebabnya, dan dasarnya adalah bahwa sekelompok manusia yang menguasai dunia, mereka menguasainya semata-mata untuk kepentingan hawa nafsunya.
Pada nafsulah terdapat masalah, kehinaan, dan bahaya.
Bila manusia sudah berurusan dengan kesenangan nafsu dan tuntutan-tuntutan nafsunya itu, ia akan terjatuh kepada dua masalah yang besar:
Pertama, keinginan nafsu tidak hanya sebatas pada apa yang sudah terpenuhi. Karena nafsu sesungguhnya menuntut agar semua perintahnya dipatuhi. Sehingga, ia tidak akan pernah berhenti menuntut sesuatu yang dikehendakinya. Jika keinginannya sudah dipenuhi, ia akan menuntut keinginan selanjutnya, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, sampai kepada tingkatan yang manusia tidak dapat melakukannya, yang semuanya tidak lain adalah kepuasan bagi nafsu. Ia akan meminta sesuatu yang berada di luar batas akal sehat, di luar batas yang sepatutnya, dan di luar batas kebiasaan.
Apa yang menyebabkan sebagian orang menipu, memperdaya, dan mengambil riba? Mengapa mereka memilih untuk bertikai, menghina orang lain, berbuat zhalim terhadap sesama hanya karena demi memperoleh harta benda? Apa yang menyebabkan mereka melakukan itu semua? Tidak lain karena mereka sedang memenuhi keinginan nafsunya yang menghendaki tambahan dari segala keinginannya. Mereka memenuhi tuntutan hawa nafsunya, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau kemewahan harta benda. Allah SWT berfirman, “Bermewah-mewahan telah melalaikan kalian.” — QS At-Takatsur (102): 1.
Semuanya adalah dorongan dan keinginan untuk mendapatkan tambahan.
Permasalahannya adalah, meskipun manusia berusaha untuk membuat nafsunya puas, ia tidak akan pernah puas. Meskipun manusia berusaha untuk membuatnya senang, ia tidak akan pernah berhenti untuk meminta tambahan yang lebih lagi dan lagi.
Sesungguhnya siapa pun yang dikuasai hawa nafsu, pastilah akan buta dan tuli.
Kedua, sesungguhnya nafsu itu, setiap kali seseorang memuaskannya, ia akan puas hanya sesaat, namun kemudian kepuasan itu langsung menghilang dan berakhir. Berakhir di dunia sebelum akhirat. Datang sesaat dan berakhir saat itu juga, karena kesenangan sesaat itu selamanya bergantung pada kesenangan lainnya. Kesenangan nafsu hanyalah kesenangan fatamorgana, yang tidak pernah ada ujungnya dan tidak pernah pula sampai kepada hakikat.
Lalu bagaimanakah halnya dengan orang yang berpindah dari menginginkan dunia kepada menginginkan akhirat sedangkan ia pun bersenang-senang. Ia menikmati berbagai hidangan yang lezat, mengenakan pakaian yang terindah, mengendarai kendaraan yang mewah, dan tinggal di rumah yang megah? Apa yang membedakan antara keduanya?
Perbedaan antara keduanya, pertama, di dunia, yang membedakannya adalah, orang yang kedua, yakni yang menghendaki akhirat, merasakan kesenangan yang hakiki. Karena, bila merasakan kesenangan atau menikmati hidangan yang dimakannya, ia berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Yang telah memberiku rizqi.”
Ia mengakui, nikmat yang diterima hanyalah milik Allah, sehingga kesenangan yang dirasakannya adalah kebahagiaan terhadap rahmat dan karunia Allah SWT. Kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir selama di dunia. Sedangkan di akhirat nanti, kesenangan itu pun akan tetap abadi. Ia akan melihat buah dari syukurnya kepada Allah SWT ketika ia berdiri di hadapan Allah. Allah berfirman, “Apabila kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nimat-Ku.” — QS Ibrahim (14): 7. Sehingga orang tersebut akan bersenang-senang di dunia dan bersenang-senang pula di akhirat.
Kedua, orang tersebut akan menjadi raja bagi nafsunya dan tidak akan pernah menjadi budak baginya.
Perhatikanlah permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Seseorang yang hidup dan menikmati kesenangan dunia yang dibolehkan namun yang ia inginkan adalah Allah SWT, dan bukan dunia, ia akan hidup sentosa dan kuat dengan rahmat dan pertolongan Allah SWT, menjadi raja bagi nafsunya, dan tidak akan pernah menjadi budaknya.
Bila sang nafsu mulai menuntut sesuatu yang bukan haknya, sesuatu yang tidak diperkenankan, sesuatu yang di luar kemampuannya, dan mulai menggodanya dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan untuk mencuri, menipu, atau memperdaya, dengan serta merta hatinya berkata, “Tidak! Ini tidak diridhai oleh Allah SWT dan aku menginginkan ridha Allah. Aku tidak akan mencari masalah hanya untuk kesenangan sesaat. Aku hanya mengambil sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah sedangkan ini tidak diridhai oleh Allah SWT. Karenanya aku tidak akan memberimu (nafsu) kesenangan ini.”
Orang ini akan selalu berkata “tidak” kepada nafsunya. Dan bila ia sudah berkata “tidak”, tunduklah nafsunya meskipun pada awalnya sang nafsu memberontak.
Pada pembahasan-pembahasan berikutnya, akan dijelaskan ihwal pemberontakan nafsu dan mujahadah untuk menaklukkannya sehingga pada akhirnya sang nafsu pun tunduk. Dan apabila nafsu sudah tunduk, kitalah yang akan mengarahkan dan membimbing nafsu berdasarkan perintah Allah SWT. Sehingga, dalam kehidupan, dalam siang dan malam, dalam kesibukan hati, dalam kesungguhan dan segala keinginan, kita senantiasa dalam keadaan ber-tawajjuh (menghadap) kepada Allah SWT. Hari demi hari semakin dekat, dekat, dan terus dekat kepada Allah SWT.
Sumber: Majalah Alkisah
No comments:
Post a Comment