Ada seorang perempuan datang kepada
Syaikh Hatim Al Asham untuk bertanya tentang sebuah persoalan. Saat
bertanya, tiba-tiba keluarlah suara buang angin dari perempuan itu dan
ia merasa sangat malu.
“Keraskan suaramu!,” teriak Hatim dengan keras untuk mengesankan seolah ia tuli.
Si perempuan merasa senang dan mengira
kalau Hatim tidak mendengar suara buang anginnya. Karena kejadian
itulah, kemudian Syaikh Hatim mendapat julukan Al Asham (si tuli).
—
Kita mendapat pelajaran yang sangat
berharga darga dari Syekh Hatim Al Asham. Hal menarik dari kisah di atas
adalah usaha dari seorang besar yang menutup rapat-rapat keburukan
orang lain, tidak mengumbarnya sebagaimana terjadi saat ini, dimana kita
melihat fenomena tayangan infotainment yang menceritakan kekisruhan
rumah tangga orang lain, membeberkan perselingkuhan serta perzinahan
yang terjadi dengan begitu terang benderang.
Akibatnya, ajang berkumpul sesama teman atau keluarga rasanya kurang ‘afdhal’ bila tidak dibumbuhi dengan ngerasani (menggunjing) atau menggosip.
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya Al Da’wah Al Tammah,
mengutip ucapan Sayyidina Al Hasan Al Bashri, terkait meneliti aib diri
sendiri. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Engkau tidak akan memperoleh
hakikat iman selama engkau mencela seseorang dengan sebuah aib yang ada
pada dirimu sendiri. Perbaikilah aibmu, baru kemudian engkau memperbaiki
aib orang lain. Setiap engkau memperbaiki satu aibmu, maka akan tampak
aib lain yang harus kau perbaiki. Akhirnya kau sibuk memperbaiki dirimu
sendiri. Dan sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah dia
yang sibuk memperbaiki diri sendiri. Sepanjang sejarah kehidupan
manusia, tidak ada hari seperti hari kiamat, hari dimana aib terbuka dan
mata menangis.”
Seorang ulama pernah berkata: “Aku tidak
menemukan sesuatu yang paling ampuh merontokkan amal, merusak hati,
menyeret kepada kebinasaan seorang hamba dan mendekatkan kepada
kebencian serta memudahkan masuknya rasa suka kepada sifat pamer (riya’),
ujub dan kedudukan selain terwujud pada minimnya pengetahuan seorang
hamba akan aib-aib dirinya sendiri sembari melihat keburukan yang ada
pada diri orang lain.”
Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin,mengetengahkan kiat jitu menyingkap kekurangan yang melekat pada diri kita. Beliau menyarankan untuk menempuh empat cara:
Pertama, duduk di hadapan
seorang guru yang mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai masalah
yang tersembunyi di dalamnya. Kemudian ia memasrahkan dirinya kepada
sang guru dan mengikuti petunjuknya dalam ber-mujahadah membersihkan aib itu. Ini adalah keadaan seorang murid
dengan Syaikhnya dan seorang pelajar dengan gurunya. Sang guru akan
menunjukkan aib-aibnya serta cara pengobatannya. Namun, di zaman
sekarang guru semacam ini langka.
Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh
(mata hati yang tajam) dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan
temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta
semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan
kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik,
orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.
Ketiga, berusaha mengetahui aib
dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan
menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh
seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari
kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan
menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia
untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai
ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang
mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh
musuhnya.
Keempat, bergaul dengan
masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia
segera menuduh dirinya sendiri juga memilki sifat tercela itu. Kemudian
ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin
adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan
melihat aib-aibnya sendiri.
(http://www.rabithah-alawiyah.org)
No comments:
Post a Comment