Perbedaan pendapat ulama salafi-wahabi sendiri dengan saling memvonis bid'ah dan neraka...
Kalau begini, "Jadi tali agama Allah mana yang mau dipegang?"
Allah berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS: Ali Imran 103)
“Perumpamaan ahli bait-ku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam.”(H.R. Thabrani)
“Aku meninggalkan kalian yang apabila kalian pegang teguh tidak akan tersesat. Kitab Allah, dan keturunanku.”(H.R. Turmudzi)
''Sungguh aku tinggalkan padamu apa yang dapat mencegah kamu dari kesesatan setelah kepergianku, selama kamu berpegang teguh kepadanya; Kitabullah dan 'Ithrahku (keluargaku) ahlul bayt. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya berjumpa denganku di Al Haudh. Maka hati-hatilah dengan perlakuanmu atas keduanya sepeninggalku nanti''.(H.R. Turmudzi)
Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Abu Ya'la, Al 'Uqaili, At Thabrani dan Ibnu Syahin dalam As Sunnah dari Ibnu Mas'ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya Fatimah telah menjaga dirinya oleh karena itu Allah swt mengharamkan keturunannya atas api neraka".
Disalin dari sumber fb Ustadz Ansori Dahlan: https://www.facebook.com/ansoori.dahlan/posts/528536833875356
Gampang & entengnya memvonis bid’ah (sesat & pelakunya masuk neraka), syirik, khurafat bahkan kafir kepada saudara muslim, atau bahkan para ‘alim ulama, yang kemudian di ikuti (baca : taqlid buta) oleh para jamaahnya tanpa memeriksa dengan seksama, menasehati dengan baik atau bahkan menganggap buta mata hati saudara muslimnya, hingga akhirnya Allah membalas mereka yang telah berbuat zhalim, tuduhan fitnah yang keji & kejam, tak hanya kepada sesama jamaahnya akan tetapi telah sampai tahap antar ulama mereka sendiri. Inilah akibat memisahkan diri dari jamaah mazhab, ahlusssunnah wal jama’ah. berikut perbedaan fatwa dan pendapat mereka yang telah menjurus kepada pembid’ahan. Lihatlah ulama – ulama yang di nilai akan masuk neraka karena telah berbuat sesat (bid’ah) oleh ulam Salafy sendiri karena fatwa – fatwanya.
1. UTSAIMIN DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN AZAN JUM’AT 2 KALI
al-Albani dalam kitabnya al-Ajwibah al-Nafi’ah, menilai azan sayyidina Utsman ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan.Tentu saja, pendapat aneh al-Albani yang kontroversial ini mendapatkan serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti al-Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh yang telah menyetujui azan sayidina Utsman sebagai ahli bid’ah. Bahkan Ulama Wahhabi yaitu al-’Utsaimin sendiri, sangat marah al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali:
“ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم.”
“ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani). Beliau (Utsman R.A) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat: al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al- Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) hal 638.
2. BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH UTSAIMIN KARENA MEMBOLEHKAN BERDOA MENGHADAP KUBUR NABI SAW
Para ulama Wahabi Salafy khususnya Utsaimin dalam salah satu kitabnya melarang berdoa menghadap kubur Nabi SAW, akan tetapi hal ini ditolak oleh Bin Baz.
Dalam salah satu fatwa Bin Baz dikutip
Pertanyaan no.624: ”Apakah dilarang ketika berdoa untuk mayit dengan menghadap ke kuburannya?”
Jawaban:”
Tidak dilarang !! Bahkan mendoakan mayit dengan menghadap kiblat atau menghadap kuburnya itu terserah. Karena Nabi Muhammad saw pernah pada suatu hari setelah prosesi pemakaman beliau berdiri diatas kuburnya dan bersabda:
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mintakanlah ketetapan imannya, karena dia sekarang sedang di tanyai (oleh malaikat-pen). Dalam kejadian ini Nabi saw tidak mengatakan:
“Menghadaplah kalian ke arah kiblat…..!! (kemudian berdoa-pen). Oleh sebab itu, maka semuanya boleh, entah itu menghadap kiblat atau menghadap kuburan. Dan para sahabatpun telah berdoa untuk mayit dengan berkumpul disekitar kuburannya.
3. UTSAIMIN, BIN BAZ & IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN TARAWIH 20 RAKAAT
ALBANI & hampir seluruh jamaah Wahabi – Salafy membid’ahkan perkara sholat tarawih 20 rokaat, sunnahnya 11 rakaat, tapi anggapan bid’ah ini di tepis oleh sesama ulama Salafy sendiri
Berikut ini adalah penjelasan Syaikh Ibnu Baz tentang masalah ini:
ومن الأمور التي قد يخفى حكمها على بعض الناس:
ظن بعضهم أن التراويح لا يجوز نقصها عن عشرين ركعة،
“Di antara hal yang hukumnya tidak diketahui oleh sebagian orang adalah anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat
.وظن بعضهم أنه لا يجوز أن يزاد فيها على إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة ركعة، وهذا كله ظن في غير محله بل هو خطأ مخالف للأدلة.
Demikian pula anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Kedua anggapan ini adalah anggapan yang tidak pada tempatnya bahkan keduanya adalah anggapan yang menyelisihi banyak dalil.
وقد دلت الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن صلاة الليل موسع فيها ، فليس فيها حد محدود لا تجوز مخالفته،
Terdapat banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa bilangan rakaat shalat malam itu longgar, tidak ada batasan baku yang tidak boleh dilanggar.
بل ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة، وربما صلى ثلاث عشرة ركعة، وربما صلى أقل من ذلك في رمضان وفي غيره.
Bahkan terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat malam sebanyak 11 rakaat dan terkadang 13 rakaat. Terkadang pula beliau shalat malam kurang dari 11 rakaat ketika Ramadhan atau pun di luar Ramadhan.
ولما سئل صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل قال: مثنى مثنى ، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى . متفق على صحته .
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau mengatakan, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika kalian khawatir waktu subuh tiba maka hendaknya dia shalat sebanyak satu rakaat sebagai witir untuk shalat malam yang telah dia kerjakan” (HR Bukhari dan Muslim)..
ولم يحدد ركعات معينة لا في رمضان ولا في غيره،
Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jumlah rakaat tertentu untuk shalat malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
ولهذا صلى الصحابة رضي الله عنهم في عهد عمر رضي الله عنه في بعض الأحيان ثلاثا وعشرين ركعة، وفي بعضها إحدى عشرة ركعة،
Oleh karena itu para sahabat di masa Umar terkadang shalat tarawih sebanyak 23 rakaat dan terkadang sebanyak 11 rakaat.
كل ذلك ثبت عن عمر رضي الله عنه وعن الصحابة في عهده.
Kedua riwayat tersebut adalah riwayat yang sahih dari Umar dan para sahabat di masa Umar.
وكان بعض السلف يصلي في رمضان ستا وثلاثين ركعة ويوتر بثلاث،
Sebagian salaf ketika bulan Ramadhan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat terus ditambah witir 3 rakaat.
وبعضهم يصلي إحدى وأربعين،
Sebagian salaf yang lain shalat tarawih sebanyak 41 rakaat.
ذكر ذلك عنهم شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وغيره من أهل العلم،
Kedua riwayat di atas disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama selainnya.
كما ذكر رحمة الله عليه أن الأمر في ذلك واسع، وذكر أيضا أن الأفضل لمن أطال القراءة والركوع والسجود أن يقلل العدد، ومن خفف القراءة والركوع والسجود زاد في العدد، هذا معنى كلامه رحمه الله.
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya. Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa yang paling afdhol bagi orang yang mampu untuk berdiri, ruku dan sujud dalam waktu yang lama adalah mempersedikit jumlah rakaat yang dia lakukan. Sedangkan orang yang berdiri, ruku dan sujudnya tidak lama hendaknya memperbanyak jumlah rakaat yang dikerjakan. Inilah inti dari perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini.
Utsaimin
Utsaimin juga mensunnahkan akan tarawih brjumlah lebih dari 20 rakaat.
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya” (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706)
4. UTSAIMIN & IBNU TAIMIYAH DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KARENA MENGATAKAN MENGIRIM DOA & PAHALA BACAAN QUR’AN UNTUK MAYIT SAMPAI
Dalam banyak artikel di web & buku – buku Salafy, terlihat bahwa tidak sampainya pengiriman bacaan Qur’an & doa kepada mayyit, tetapi hal ini disangkal oleh Ibnu Taimiyah & Utsaimin, berikut pernyataan Utsaimin.
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
“Pembacaan al-Qur’an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur’an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur’an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do’a adalah yang lebih utama (afdlal).”Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]Perhatikan, Ibn Taimiyah dalam kumpulan fatwa-fatwanya ngomong begini: ”Bacaan al-Qur’an yang akan sampai (bermanfaat bagi mayit) adalah yang dibacakan ikhlas karena Allah”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300)Pada halaman yang sama dia juga ngomong begini: ”Barangsiapa membaca al-Qur’an ikhlas karena Allah lalu ia hadiahkan pahalanya untuk mayit maka hal itu dapat memberikan manfaat baginya”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300).
Pada halaman lainnya dia ngomong lagi: “Akan sampai kepada mayit bacaan (al-Qur’an) dari keluarganya, bacaan tasbih mereka, bacaan takbir mereka, dan seluruh bacaan dzikir mereka jika memang mereka menghadiahkan pahala bacaan tersebut bagi mayit itu. Itu semua akan sampai kepadanya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 324).
Di halaman lainnya dia berfatwa begini: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan jalan usahanya sendiri. Tetapi yang difirmankan oleh-Nya adalah:
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى (النجم: 39)
Yang dimaksud ayat adalah bahwa seseorang tidak dapat MEMILIKI sesuatu apapun dari suatu kebaikan kecuali hasil usahanya sendiri, adapun yang bukan dari usahanya sendiri maka ia TIDAK DAPAT MILIKI-nya. Maka hasil usaha orang lain adalah MILIK orang itu sendiri, bukan milik siapapun. Perumpamaannya pada harta; seseorang hanya dapat MEMILIKI hartanya sendiri, dan ia dapat mengambil manfaat dari harta yang ia MILIKI tersebut, harta tersebut bukan MILIK orang lain, harta dia MILIK dia, harta orang lain MILIK orang lain. Akan tetapi bila seseorang berderma bagi orang lain dengan hartanya tersebut maka tentunya hal itu dibolehkan (dan memberikan manfaat bagi orang lain tersebut). Demikian pula bila seseorang berderma bagi orang lain dengan usahanya maka tentu itu juga memberikan manfaat bagi orang lain tersebut; sebagaimana seseorang akan memberikan manfaat bagi orang lain dengan jalan doa baginya, dan atau dengan jalan bersedekah baginya. Orang yang dituju (dengan doa atau sedekah) tersebut akan mengambil manfaat, dan akan sampai kepadanya segala kebaikan dari setiap orang muslim; baik orang-orang dari kerabatnya atau lainnya (jika memang ditujukan/dihadiahkan/didermakan baginya), sebagaimana seseorang (mayit) mengambil manfaat dari pekerjaan shalat dari orang-orang yang menshalatkannya, dan atau dari doa mereka baginya di sisi kuburnya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 367)
Dan pada akhirnya Ibnu Taimiyah menolak anggapan bid’ah & tidak sampainya bacaan Qur’an kepada Mayyit, dan menyerang balik mereka, seperti berikut:
“Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”
No comments:
Post a Comment